JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru dalam dalam mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Managing Director Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, salah satu anggota aliansi mengatakan, RKUHP akan mengikat segala sisi kehidupan masyarakat.
Peraturan tersebut akan memiliki daya paksa untuk menegakkan tertib sosial yang diinginkan oleh pemerintah.
Oleh sebab itu Erasmus memandang bahwa Presiden perlu membuka dialog multi-pihak dan multi-kementerian/lembaga dalam membahas RKUHP.
"Pembahasan RUU Hukum Pidana tidak boleh didominasi oleh ahli hukum pidana saja. Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong adanya dialog multi-pihak," ujar Erasmus kepada Kompas.com, Selasa (6/3/2018).
(Baca juga: Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial)
Menurut Erasmus, dialog dan pembahasan RKUHP selama ini didominasi oleh para ahli hukum pidana.
Presiden Joko Widodo sebelumnya sempat bertemu dengan empat orang ahli hukum, yaitu Mahfud MD, Luhut Marihot Parulian Pangaribuan, Maruarar Siahaan, dan Edward Omar Sharif Hiariej.
Ia menengarai adanya desakan untuk segera mengesahkan RKUHP dalam pertemuan tersebut.
Sementara pasal dalam RKUHP menyentuh segala aspek kehidupan termasuk mengenai kesehatan, perempuan, anak dan segala isu sosial lainnya.
Erasmus menuturkan, saat ini pemerintah dan DPR tidak melihat pemerintah dan DPR memiliki cetak biru pembaruan hukum pidana nasional.
Di sisi lain, lanjut Erasmus, belum ada upaya mencocokan antara RKUHP an Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Hal ini akan memperparah prioritas dari program pembaruan dan pembangunan hukum nasional," kata Erasmus.
(Baca juga: RKUHP Tak Perlu Buru-buru Disahkan Jika Hanya Mengejar "Legacy")
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga menyatakan bahwa aspek kebebasan sipil membawa dampak yang besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia.
Karena itu, kata Erasmus, apabila RKUHP buru-buru disahkan akan membawa kontribusi besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia di tahun berikutnya.