Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RKUHP Tak Perlu Buru-buru Disahkan Jika Hanya Mengejar "Legacy"

Kompas.com - 09/02/2018, 22:03 WIB
Estu Suryowati,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyarankan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak terburu-buru mengetok palu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) apabila tujuannya hanya mengejar legacy.

Menurutnya, masih banyak pasal yang belum tuntas dibahas. Di sisi lain, revisi sejumlah pasal juga tidak memperhatikan implikasinya.

Dengan kata lain dibuat tanpa proses regulatory impact assessment.

"Saya melihatnya mereka ingin punya legacy. Ingin dicatat 'Pada periode DPR 2014-2019 akhirnya sebuah KUHP nasional bisa disahkan'," kata Bivitri di Jakarta, Jumat (9/2/2018).

Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).

"Kelihatannya legacy seperti itu. Tetapi menurut saya, kalau tidak realistis dan cuma sekadar mengejar prestasi seperti itu, jangan (buru-buru disahkan)," lanjutnya.

Bivitri mengatakan, KUHP yang ada saat ini adalah warisan kolonial, dibuat tahun 1870. Tentu saja banyak hal yang harus direvisi, diantaranya konversi denda, serta penambahan jenis tindak pidana.

Akan tetapi, dalam pembahasan revisi KUHP, Bivitri mengingatkan agar DPR tidak memperlakukan KUHP layaknya undang-undang biasa, yang bisa dinegosiasi.

(Baca juga: ICJR Nilai Rancangan KUHP Memuat Aturan Legalisasi Judi)

"Harusnya pola pembahasannya tidak ada negosiasi oleh partai-partai politik. Tapi dipimpin langsung oleh ahli-ahli hukum pidana. Seperti fit and proper test hakim konstitusi, dulu pernah pakai panel ahli," katanya.

Kemudian, lanjutnya, pembuat undang-undang juga tidak menghitung implikasi dari pasal-pasal yang direvisi. Misalnya, kata Bivitri, soal perluasan pasal zina.

Semestinya yang dilihat bukan hanya perkara asusilanya. Melainkan, pihak-pihak yang potensial dipidana karena perluasan pasal zina ini.

Bivitri mengatakan, tidak hanya orang-orang "liberal" dalam hal seksual saja yang bisa dipidana, tetapi juga orang-orang "konservatif".

"Istri kedua, ketiga, keempat yang nikahnya siri, artinya tidak sah di mata negara, berarti bisa kena (pasal ini)," kata Bivitri.

"DPR memperhitungkan dampak itu tidak? Yang di front liner, polisi, aparat penegak hukum, hakim, sanggup enggak memproses hal seperti itu? Hal seperti itu tidak dihitung oleh DPR sepertinya, karena negosiasinya dangkal saja," pungkas Bivitri.

Kompas TV DPR berusaha memasukan kembali pasal penghinaan presiden ke dalam rancangan KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com