Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Anggota DPR Masih Butuh Dikritik?

Kompas.com - 15/02/2018, 11:36 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat berpidato pada Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2017-2018, Ketua DPR Bambang Soesatyo membacakan pidato yang ia beri judul "Kami Butuh Kritik".

Dua layar besar di dalam ruang rapat pun menampilkan tulisan besar berwarna hitam dengan latar belakang putih, seakan memberi penegasan atas pidato yang diucapkan oleh politisi dari Partai Golkar itu. "Kami Butuh Kritik!"

Bambang menuturkan, di era keterbukaan, anggota DPR tidak boleh menutup mata atas kritik yang disampaikan masyarakat, apalagi terhadap kritik yang sifatnya membangun.

"Justru kita harus menjadikan kritik sebagai vitamin yang dapat menyegarkan kehidupan demokrasi, karena sejatinya demokrasi adalah sebuah sistem politik untuk mengkonversi berbagai perbedaan cara pandang menjadi sebuah keputusan bersama," ujar Bambang di gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Bambang pun menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak anti terhadap kritik.

(Baca juga: Ketua DPR: Jika Perlu DPR Akan Membuat Lomba Kritik DPR Terbaik)

Bahkan ia berencana membuat lomba kritik terhadap DPR dengan mengundang akademisi dan tokoh masyarakat sebagai dewan jurinya.

"Pimpinan Dewan ingin menegaskan, DPR tidak anti kritik. Bahkan jika perlu DPR akan membuat lomba kritik DPR terbaik, dengan para juri dari kalangan akademisi, tokoh masyarakat, dan pemerhati kebijakan publik," ucapnya.

Menurut Bambang, polemik yang muncul soal Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang baru saja disahkan disebabkan masyarakat salah paham mengenai hak imunitas dan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Masyarakat, kata Bambang, tidak perlu khawatir dengan Hak Imunitas Anggota DPR, sebab bukan berarti anggota DPR kebal hukum atau berada di atas hukum.

Ia mengatakan, hak imunitas bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas kehormatan anggota DPR dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

"Kita tentu semua sepakat, setiap profesi selain terikat kode etik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, juga harus mendapatkan perlindungan hukum atas kehormatannya. Termasuk, anggota dewan," kata Bambang.

 

 

Mengacaukan garis ketatanegaraan

Namun, judul pidato tersebut seakan bertentangan dengan banyaknya kritik yang disampaikan oleh berbagai kalangan masyarakat terhadap isi UU MD3.

(Baca juga : UU MD3 Dikecam Publik, Agung Laksono Anggap Kurang Sosialisasi)

Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan petisi Tolak UU MD3 di Change.org, di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (14/2/2018).KOMPAS.com/Ihsanuddin Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan petisi Tolak UU MD3 di Change.org, di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampouw menilai ada perubahan fungsi MKD yang diatur dalam UU MD3.

MKD awalnya merupakan lembaga yang dibentuk untuk memperbaiki perilaku anggota DPR, berubah menjadi alat untuk membungkam kritik.

Kritik keras juga dilontarkan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.

Ia mengatakan, dengan disahkannya UU MD3 itu, DPR RI telah mengacaukan garis ketatanegaraan yang sudah diatur sebelumnya.

"DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan ya. Soal etika dicampur aduk dengan persoalan hukum," ujar Mahfud saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Pasal yang mencerminkan campur aduknya etika dengan hukum yakni pasal yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengadukan orang yang dinilai merendahkan martabat DPR secara lembaga atau perorangan.

"Harusnya DPR kalau mau campur adukkan penegakan hukum dengan etika, ya itu tidak boleh," kata Mahfud.

(Baca juga: Mahfud MD: DPR Mengacaukan Garis Ketatanegaraan...)

"Misalnya ada orang dianggap menghina DPR, enggak perlu pakai dewan etiknya segala. Kan sudah ada hukumnya KUHP pidana, menghina atau mencemarkan pejabat publik dan lembaga publik. Kenapa dimasukkan lagi MKD yang harus melapor?" ucapnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR nampak menutupi pembahasan sejumlah pasal yang membuat mereka kian tak tersentuh dengan alasan hanya merevisi pasal terkait penambahan jumlah Pimpinan DPR dan MPR.

 

Pasal bermasalah

Setidaknya terdapat tiga pasal yang dinilai bermasalah dan membut DPR semakin tak tersentuh dalam Undang-undang MD3.

Pasal 73

Dalam klausul Pasal 73 revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.

Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.

Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.

Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.

(Baca juga: Wajib Hadirkan Pihak yang Diperiksa DPR, Ini Tanggapan Polri)

Suasana sidang Paripurna DPR yang tidak dihadiri ratusan anggota DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/8). Sebanyak 252 anggota DPR tidak hadir dalam sidang paripurna ini. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/17.M Agung Rajasa Suasana sidang Paripurna DPR yang tidak dihadiri ratusan anggota DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/8). Sebanyak 252 anggota DPR tidak hadir dalam sidang paripurna ini. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/17.

Ia mengatakan, nantinya ketentuan itu akan diperkuat dengan ketentuan tambahan berupa Peraturan Kapolri (Perkap).

Penambahan frase "wajib", lanjut Supratman, merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket memanggil paksa KPK.

Bahkan dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari. Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.

Pasal 122 huruf k

Pasal 122 huruf k yang berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Pasal 245

DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD lebih dulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.

Klausul itu menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait Pasal 245.

Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan oleh presiden. Kini DPR mengganti izin MKD dengan frase "pertimbangan".

(Baca juga: Mau Gugat UU MD3, Koalisi Masyarakat Sipil Tunggu Sanksi Etik Ketua MK)

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas menjamin pasal tersebut tak akan menghambat proses pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum.

Sebab MKD hanya memberi pertimbangan dan tak wajib digunakan presiden dalam memberi izin.

Ia juga mengatakan, pertimbangan MKD dan izin presiden tidak berlaku bagi anggota DPR yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana, terlibat tindak pidana khusus, dan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

"Itu peran MKD nanti dalam proses pidana tidak akan hambat proses izin yang dikeluarkan presiden. Karena kan ada batas waktunya," kata Supratman usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2/2018).

(Baca juga: Kata Menkumham, Yang Tak Setuju Revisi UU MD3 Silakan Gugat ke MK)

"Jadi kalau nanti presiden ada permintaan izin kemudian MKD mengulur waktu batas limitasinya juga jadi tidak berarti," ujar dia.

Keberadaan pasal ini juga sempat menimbulkan adu argumen antara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu dan Erma Suryani Ranik dari Fraksi Partai Demokrat.

Laode menilai ketentuan pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keterlibatan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR telah dibatalkan oleh putusan MK.

Ia pun mengkritik keberadaan ketentuan hak imunitas anggota DPR yang tak sesuai prinsip equality before the law atau persamaan setiap orang di hadapan hukum.

Laode menegaskan, dengan adanya prinsip hukum tersebut kedudukan setiap warga negara sama di hadapan hukum, apapun kasus yang menjeratnya.

Dengan melihat kenyataan tersebut benarkah DPR masih membutuhkan kritik dari masyarakat? Terlebih saat rapat paripurna itu, sebanyak 363 anggota DPR tidak hadir.

Kompas TV Simak dialognya dalam Sapa Indonesia Malam berikut ini!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang



Terkini Lainnya

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Nasional
Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Luhut Ingatkan soal Orang 'Toxic', Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Luhut Ingatkan soal Orang "Toxic", Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Nasional
Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com