Pasal bermasalah
Setidaknya terdapat tiga pasal yang dinilai bermasalah dan membut DPR semakin tak tersentuh dalam Undang-undang MD3.
Pasal 73
Dalam klausul Pasal 73 revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.
Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.
Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.
(Baca juga: Wajib Hadirkan Pihak yang Diperiksa DPR, Ini Tanggapan Polri)
Ia mengatakan, nantinya ketentuan itu akan diperkuat dengan ketentuan tambahan berupa Peraturan Kapolri (Perkap).
Penambahan frase "wajib", lanjut Supratman, merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket memanggil paksa KPK.
Bahkan dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari. Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.
Pasal 122 huruf k
Pasal 122 huruf k yang berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pasal 245
DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD lebih dulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Klausul itu menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait Pasal 245.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan oleh presiden. Kini DPR mengganti izin MKD dengan frase "pertimbangan".
(Baca juga: Mau Gugat UU MD3, Koalisi Masyarakat Sipil Tunggu Sanksi Etik Ketua MK)
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas menjamin pasal tersebut tak akan menghambat proses pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum.
Sebab MKD hanya memberi pertimbangan dan tak wajib digunakan presiden dalam memberi izin.
Ia juga mengatakan, pertimbangan MKD dan izin presiden tidak berlaku bagi anggota DPR yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana, terlibat tindak pidana khusus, dan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.
"Itu peran MKD nanti dalam proses pidana tidak akan hambat proses izin yang dikeluarkan presiden. Karena kan ada batas waktunya," kata Supratman usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2/2018).
(Baca juga: Kata Menkumham, Yang Tak Setuju Revisi UU MD3 Silakan Gugat ke MK)
"Jadi kalau nanti presiden ada permintaan izin kemudian MKD mengulur waktu batas limitasinya juga jadi tidak berarti," ujar dia.
Keberadaan pasal ini juga sempat menimbulkan adu argumen antara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu dan Erma Suryani Ranik dari Fraksi Partai Demokrat.
Laode menilai ketentuan pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keterlibatan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR telah dibatalkan oleh putusan MK.
Ia pun mengkritik keberadaan ketentuan hak imunitas anggota DPR yang tak sesuai prinsip equality before the law atau persamaan setiap orang di hadapan hukum.
Laode menegaskan, dengan adanya prinsip hukum tersebut kedudukan setiap warga negara sama di hadapan hukum, apapun kasus yang menjeratnya.
Dengan melihat kenyataan tersebut benarkah DPR masih membutuhkan kritik dari masyarakat? Terlebih saat rapat paripurna itu, sebanyak 363 anggota DPR tidak hadir.