JAKARTA, KOMPAS.com — Komunikasi antara sejumlah elite Partai Golkar dan Istana semakin intens menyusul menguatnya wacana pelaksanaan musyawarah nasional luar biasa dengan agenda pemilihan ketua umum pengganti Setya Novanto.
Novanto, yang berstatus tersangka kasus dugaan korupsi, kini mendekam di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pekan lalu, kandidat kuat ketum Golkar, Airlangga Hartarto, bersama sejumlah pimpinan DPD Golkar menemui Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan ini terkait pelaksanaan munaslub.
Istana dan Golkar saling membutuhkan.
Baca: Soal Munaslub, Golkar Disarankan Jaga Jarak dengan Jokowi
Qodari mengatakan, Presiden membutuhkan Golkar untuk memuluskan sejumlah agenda di parlemen. Apalagi, kursi ketua DPR dipegang Golkar.
"Golkar itu manuver politiknya melebihi jumlah kursi yang dimiliki (di DPR) karena pengalaman politik mereka yang sudah matang," kata Qodari di Jakarta, Minggu (4/12/2017).
Oleh karena itu, menurut Qodari, wajar jika pihak Istana, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden, menginginkan ketua umum Golkar sehaluan dengan mereka.
Istana masih membutuhkan Golkar untuk agenda-agenda di parlemen dan kepentingan politik pada Pemilu 2019.
Baca juga: Akom: Partai Golkar Sudah Lama Menderita
Sejak dulu, kata dia, Golkar tak pernah lepas dari kekuasaan dan selalu menjadi mitra koalisi Istana sebagai lambang kekuasaan.
"Jadi rasional saja jika Istana memilih ketua umum Golkar yang sehaluan," ujar Qodari.
Restu Jokowi
Sebelumnya, Airlangga Hartarto, yang kini menjabat Menteri Perindustrian, mengatakan mendapatkan restu Jokowi untuk maju sebagai kandidat ketua umum.
Di Golkar, Airlangga juga menduduki posisi sebagai Koordinator Bidang Perekonomian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar.