JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota Komisi II DPR RI Miryam S Haryani akan menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017). Miryam merupakan terdakwa dalam kasus pemberian keterangan palsu di pengadilan.
Sebelumnya, mantan politisi Partai Hanura itu dituntut delapan tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Menurut jaksa, perbuatan Miryam tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatannya menghambat proses penegakan hukum dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
"Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 23 Oktober 2017.
(Baca juga: Keterangan Palsu Miryam yang Berujung Tuntutan 8 Tahun Penjara)
Selain itu, jaksa menilai Miryam tidak menghormati lembaga peradilan dan menodai kemuliaan sumpah. Kemudian, jaksa menilai, Miryam sebagai anggota DPR tidak memberikan contoh kepada masyarakat untuk bersikap jujur.
Menurut jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.
Dalam persidangan, Miryam mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.
Miryam beralasan, saat memberikan keterangan dalam BAP, ia ditekan dan diancam oleh tiga penyidik KPK. Namun, hal itu tidak terbukti.
(Baca juga: Hakim Heran "Karangan" Miryam soal Bagi Uang Cocok dengan Saksi Lain)
Dalam persidangan, jaksa pernah menghadirkan dua penyidik KPK, yakni Ambarita Damanik dan MI Susanto. Ketiga penyidik membantah adanya tekanan atau paksaan kepada Miryam dalam memberikan keterangan.
Bahkan, menurut penyidik, dalam empat kali pemeriksaan, Miryam selalu diberikan kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keterangannya pada akhir pemeriksaan. Hal itu terbukti dengan paraf dan tanda tangan Miryam yang dibubuhkan pada setiap berkas BAP.
Miryam dinilai jaksa terbukti melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Menanggapi tuntutannya, Miryam merasa kecewa terhadap KPK. Dia merasa penjelasannya mengenai pencabutan keterangan dan tekanan dari penyidik diabaikan oleh jaksa KPK.
Menurut Miryam, ia sebenarnya memiliki alasan kuat untuk mencabut keterangan yang ia tuangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Ia mengatakan, BAP dalam empat kali pemeriksaan itu dibuat di bawah tekanan penyidik KPK.
"Apakah saya salah mengutarakan sesuatu yang terjadi di KPK dalam persidangan? Saya diintimidasi penyidik, saya merasa tertekan, apa saya salah mengungkap itu di pengadilan?" kata Miryam.
(Baca: Dituntut 8 Tahun Penjara, Miryam Kecewa terhadap KPK)