JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia menilai, masih adanya vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak belajar dari kebijakan eksekusi mati sebelumnya.
Secara khusus, Putri menilai pemerintah tidak belajar pada kasus eksekusi mati gelombang ketiga yang penuh kejanggalan.
Kejanggalan itu misalnya, terpidana mati tidak menerima hak-haknya ketika dia akan dieksekusi mati, seperti harus ada notifikasi dia akan dieksekusi.
Seharusnya keluarga, kedutaan, pihak orangtua dan lainnya harus diinformasikan 3x24 jam sebelum eksekusi dilakukan.
Kejanggalan lainnya, masih ada terpidana mati yang menggunakan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali atau grasi. Namun, belum selesai upaya itu dilakukan sudah dieksekusi mati.
"Berkaca dalam kejanggalan atau kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam eksekusi mati gelombang ketiga, saya pikir negara tidak pernah belajar. Hal ini bisa dilihat justru setelah pelaksanaan eksekusi mati, vonis hukuman mati tetap diberlakukan," kata Putri, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017), terkait peringatan 15 tahun gerakan melawan praktik hukuman mati sedunia setiap 10 Oktober.
(Baca juga: Jumlah Terpidana Mati Masih Tinggi, Vonis Mati Dinilai Tak Timbulkan Efek Jera)
Kontras mencatat, sejak Januari hingga September 2017 setidaknya ada 32 vonis mati yang dijatuhkan. Dari 32 vonis mati itu, 22 di antaranya terkait kasus narkoba sementara 10 lainnya merupakan kasus pembunuhan.
Masih dari 32 kasus vonis mati itu, 28 di antaranya merupakan vonis di level Pengadilan Negeri, sedangkan 4 kasus sisanya merupakan vonis di level Pengadilan Tinggi.
Jumlah vonis mati ini, menurut Putri, tergolong banyak dan terkesan tidak mengambil pelajaran dari kejanggalan yang diindikasikan terjadi pada eksekusi mati yang telah dilakukan pemerintah.
"Lagi-lagi majelis hakim tidak belajar dari kesalahan yang dilakukan pemerintah terkait kejanggalan bahwa ada kasus, ada unfair trial, yang dialami oleh terpidana mati. Tapi itu diabaikan dan tidak jadi pertimbangan hakim dalam vonis seseorang," ujar Putri.
Sedangkan Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menyatakan, di dalam pemerintahan juga sebenarnya sudah ada keresahan ketika berakhirnya eksekusi mati gelombang ketiga.
Ini terlihat dari pernyataan Juru Bicara Kejaksaan Agung yang mengungkapkan alasan saat ditanya mengapa dari 14 orang yang dipersiapkan, yang dieksekusi hanya empat orang.
"Itu dia bilang karena kita mau mendapat kepastian agar tidak ada masalah, tidak ada kesalahan faktor yuridis atau non yuridis. Dia beberapa hari sebelumnya sudah sangat yakin 14 orang itu harus dieksekusi mati, tapi beberapa jam setelah tengah malam ada keraguan," ujar Papang.
Dia mengatakan, prinsip hukum di Indonesia sudah jelas. Walaupun hukuman mati masih diterapkan, namun apabila ada masalah pada penerapan proses peradilannya, tentu saja tidak boleh dieksekusi mati.
Dalam kasus eksekusi mati warga Nigeria, Humprey Jefferson, kata Papang, banyak cerita sumir. Putusan Ombudsman RI, lanjut Papang, menyatakan Kejagung dalam melakukan eksekusi melakukan maladministrasi.
(Baca: Kejaksaan Agung Dinilai Langgar Putusan MK Terkait Eksekusi Mati Humprey Jefferson)
Namun, Jefferson menjadi salah satu dari empat orang yang telah dieksekusi mati pada gelombang ketiga, tahun lalu. Padahal, Jefferson disebutnya tengah mengajukan upaya hukum jelang eksekusi matinya.
"Sayangnya ada beberapa kasus yang masih jalan dan belum diputus seperti kasusnya Jeff, dia sudah mendaftarkan gugatan, diterima pengadilan, tapi dia tetap dieksekusi," ujar Papang.
Meski begitu, Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan bahwa keputusan hukuman mati sudah memenuhi ketentuan yang berlaku.
(Baca: Kejagung Bantah Dianggap Maladministrasi Eksekusi Mati WN Nigeria)