Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proses Eksekusi Dinilai Janggal, Kontras Sesalkan Masih Ada Vonis Mati

Kompas.com - 10/10/2017, 17:22 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia menilai, masih adanya vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak belajar dari kebijakan eksekusi mati sebelumnya.

Secara khusus, Putri menilai pemerintah tidak belajar pada kasus eksekusi mati gelombang ketiga yang penuh kejanggalan.

Kejanggalan itu misalnya, terpidana mati tidak menerima hak-haknya ketika dia akan dieksekusi mati, seperti harus ada notifikasi dia akan dieksekusi.

Seharusnya keluarga, kedutaan, pihak orangtua dan lainnya harus diinformasikan 3x24 jam sebelum eksekusi dilakukan.

Kejanggalan lainnya, masih ada terpidana mati yang menggunakan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali atau grasi. Namun, belum selesai upaya itu dilakukan sudah dieksekusi mati.

"Berkaca dalam kejanggalan atau kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam eksekusi mati gelombang ketiga, saya pikir negara tidak pernah belajar. Hal ini bisa dilihat justru setelah pelaksanaan eksekusi mati, vonis hukuman mati tetap diberlakukan," kata Putri, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017), terkait peringatan 15 tahun gerakan melawan praktik hukuman mati sedunia setiap 10 Oktober.

(Baca juga: Jumlah Terpidana Mati Masih Tinggi, Vonis Mati Dinilai Tak Timbulkan Efek Jera)

Kontras mencatat, sejak Januari hingga September 2017 setidaknya ada 32 vonis mati yang dijatuhkan. Dari 32 vonis mati itu, 22 di antaranya terkait kasus narkoba sementara 10 lainnya merupakan kasus pembunuhan.

Masih dari 32 kasus vonis mati itu, 28 di antaranya merupakan vonis di level Pengadilan Negeri, sedangkan 4 kasus sisanya merupakan vonis di level Pengadilan Tinggi.

Jumlah vonis mati ini, menurut Putri, tergolong banyak dan terkesan tidak mengambil pelajaran dari kejanggalan yang diindikasikan terjadi pada eksekusi mati yang telah dilakukan pemerintah.

"Lagi-lagi majelis hakim tidak belajar dari kesalahan yang dilakukan pemerintah terkait kejanggalan bahwa ada kasus, ada unfair trial, yang dialami oleh terpidana mati. Tapi itu diabaikan dan tidak jadi pertimbangan hakim dalam vonis seseorang," ujar Putri.

Sedangkan Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menyatakan, di dalam pemerintahan juga sebenarnya sudah ada keresahan ketika berakhirnya eksekusi mati gelombang ketiga.

Ini terlihat dari pernyataan Juru Bicara Kejaksaan Agung yang mengungkapkan alasan saat ditanya mengapa dari 14 orang yang dipersiapkan, yang dieksekusi hanya empat orang.

"Itu dia bilang karena kita mau mendapat kepastian agar tidak ada masalah, tidak ada kesalahan faktor yuridis atau non yuridis. Dia beberapa hari sebelumnya sudah sangat yakin 14 orang itu harus dieksekusi mati, tapi beberapa jam setelah tengah malam ada keraguan," ujar Papang.

Dia mengatakan, prinsip hukum di Indonesia sudah jelas. Walaupun hukuman mati masih diterapkan, namun apabila ada masalah pada penerapan proses peradilannya, tentu saja tidak boleh dieksekusi mati.

Dalam kasus eksekusi mati warga Nigeria, Humprey Jefferson, kata Papang, banyak cerita sumir. Putusan Ombudsman RI, lanjut Papang, menyatakan Kejagung dalam melakukan eksekusi melakukan maladministrasi.

Halaman:


Terkini Lainnya

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Nasional
Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com