JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman RI menilai tata kelola penyelenggaraan umrah belum berjalan baik. Hal ini diketahui setelah dilakukan investigasi beberapa waktu lalu.
Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy mengatakan, investigasi dilakukan setelah adanya laporan dari masyarakat. Laporan tersebut juga terkait dengan kasus penyelenggaraan umrah yang dilaksanakan oleh First Travel.
Ia mengatakan, berdasarkan investigasi ditemukan sejumlah perbedaan data antara jumlah penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) yang terdaftar di Kemenag dan di penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta.
"Dari 387 PPIU di Kemenag, hanya 83 atau sekitar 21 persen PPIU yang sesuai dengan data di PTSP DKI," kata Suaedy di Ombudsman, Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Kemudian, 83 PPIU itu juga terdaftar di data pajak, namun yang berstatus konfirmasi status wajib pajak (KSWP) hanya 64 PPIU.
Sementara 19 PPIU lainnya tercantum tidak valid karena memiliki masalah, misalnya terkait nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang tidak sama dengan nama perusahaan atau pimpinannya.
(Baca juga: Cegah Perang Harga, Kementerian Agama Kaji Batas Minimal Biaya Umrah)
Selain itu, juga ditemukan adanya perusahaan yang belum menyerahkan surat laporan pajak (SPT) selama dua tahun.
"Hasil koordinasi dengan PTSP DKI ditemukan 39 PPIU atau sekitar 47 persen melampirkan NPWP sebagai syarat pengurusan izin biro perjalanan, 14 PPIU atau sekitar 17 persen tidak melampirkan NPWP dalam pengurusan izinn dan 30 PPIU atau sekitar 36 persen yang tidak terdaftar," kata Suaedy.
Ombudsman, kata dia, juga menemukan pola rekrutmen jemaah umrah yang berpotensi menimbulkan masalah.
Misalnya, dengan cara merekrut ustaz atau tokoh maayarakat yang bekerja sama dengan PPIU, tetapi dalam penyelenggaraannya PPIU tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan umrah.
"Karena (PPIU) hanya memberikan fasilitas legalitas lembaga untuk memberangkatkam jemaah, atau istilahnya 'pinjam bendera'," kata Suaedy.
Kementerian Agama (Kemenag), lanjut dia, juga tidak memiliki data base jemaah umrah. Dengan kata lain, Kementerian Agama tidak mendata warga yang sudah dan belum berangkat umrah.
Adapun data terkait jamaah umrah hanya ada di penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU). Namun, secara umum PPIU tidak bersedia memberikan data tersebut kepada pemerintah.
(Baca juga: Kuasa Hukum Korban First Travel Bakal Gugat Kemenag)
Sementara, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Kemenag tengah mengolah formulasi guna memperbaiki dan memperketat regulasi terkait penyelenggaraan ibadah umrah. Misalnya, terkait penyelewengan pajak yang dilakukan First Travel sejak 2016.
"Soal membayar pajak, misalnya. Nah di sinilah nanti kita akan melihat regulasi serta bagian-bagiannya, regulasi mana yang perlu diperkuat dalam rangka kontrol agar kemudian tidak dimungkinkan terjadinya praktek-praktek yang tidak sebagaimana mestinya," kata Lukman.
Terkait kasus First Travel, Kemenag sebelumnya mencabut izin penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel).
Pencabutan izin First Travel tercantum dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 589 Tahun 2017 tentang Penjatuhan Sanksi Administrasi Pencabutan Izin Penyelenggaraan PT First Anugerah Karya Wisata sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Keputusan Menteri tersebut telah berlaku sejak 1 Agustus 2017.
(Baca juga: YLKI: First Travel Bukan Satu-satunya Biro Umrah Bermasalah)
Selain itu, First Travel juga terjerat kasus hukum yang kini ditangani Bareskrim Mabes Polri.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan tiga petinggi First Travel sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur First Travel Anniesa Hasibuan, dan Direktur Keuangan First Travel Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki.
Modusnya yakni menjanjikan calon jemaah untuk berangkat umrah dengan target waktu yang ditentukan. Hingga batas waktu tersebut, para calon jamaah tak kunjung menerima jadwal keberangkatan.
Bahkan, sejumlah korban mengaku diminta menyerahkan biaya tambahan agar bisa berangkat.