JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Alghiffari Aqsa menilai Mahkamah Konstitusi telah melakukan tindakan inkonstitusional terkait sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
MK menolak permohonan Koalisi Masyarakat Sipil Pro Demokrasi sebagai pihak terkait langsung dalam sidang pengujian Perppu Ormas dengan alasan sudah banyak pihak terkait langsung dalam perkara tersebut.
Menurut Alghif, MK seharusnya tidak menolak permohonan dari koalisi sebagai pihak yang terdampak langsung dari terbitnya Perppu Ormas.
"Penolakan tersebut adalah tindakan yang inkonstitusional karena kami pihak yang terdampak. Dengan penolakan itu maka MK telah menutup debat terkait demokrasi dan HAM," ujar Alghif saat memberikan keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2017).
(Baca: MK Tolak Koalisi Pro Demokrasi Jadi Pihak Terkait Uji Materi Perppu Ormas)
Dengan adanya penolakan tersebut, Alghif mengkhawatirkan putusan MK nantinya hanya berdasarkan pada kepentingan para pemohon.
Sementara, lanjut Alghif, keterangan dari koalisi sebagai pihak terkait langsung, penting untuk didengar dalam sidang sebab argumentasi koalisi didasarkan pada kepentingan yang lebih luas.
Salah satu argumentasi yang diajukan oleh koalisi yakni penerbitan Perppu Ormas berpotensi memberangus kebebasan berserikat dan berorganisasi.
Perppu Ormas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membubarkan suatu ormas yang dinilai bertentangan dengan ideologi Pancasila tanpa melalui pengadilan lebih dulu.
(Baca: Saksi Ahli Heran, "Bagaimana Mungkin Ajaran Tuhan Dikatakan Anti-Pancasila?")
Adapun sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perludem, Walhi, Imparsial, Elsam, Kontras, KPA, HRWG dan KPBI.
"Putusan MK nanti takutnya hanya terbatas pada kepentingan para pihak pemohon pengujian Perppu Ormas, bukan pada kepentingan yang lebih luas, yakni demokrasi dan HAM," kata Alghif.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, seharusnya MK memberikan ruang yang luas bagi semua pihak untuk didengar pendapatnya. Mengingat, proses pengujian Perppu Ormas penting bagi masa depan kebebasan berserikat dan berorganisasi sebagai jantung dari sistem demokrasi.
Selain itu, Al Araf menilai masing-masing pihak terkait langsung memiliki kompetensi dan argumen yang berbeda.
(Baca: Kepada Perwakilan Aksi 299, PAN, Gerindra, dan PKS Janji Tolak Perppu Ormas di Paripurna)
"Seharusnya MK memberikan ruang yang lebih luas terhadap masyarakat. Ini buruk bagi iklim demokrasi. Harusnya MK jangan menghitung berapa banyak pemohon tapi melihat kualitas para pemohon. Masing-masing pihak punya kompetensi dan argumen yang berbeda. Kelompok pro demokrasi seharusnya didengar oleh MK," ujar Al Araf.
Pada Senin (2/10/2017) siang, MK menggelar sidang pengujian Perppu Ormas dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari para pihak serta keterangan dari pihak terkait. Sebelumnya MK telah mendengarkan keterangan dari pemerintah.
Untuk diketahui ada sejumlah pihak yang mengajukan gugatan terhadap Perppu Ormas. Di antaranya, Permohonan nomor perkara 39/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto.
Kemudian, Permohonan nomor perkara 41/PUU-XV/2017 diajukan oleh Aliansi Nusantara.
Selain itu, Permohonan nomor perkara 48/PUU-XV/2017 diajukan oleh Yayasan Sharia Law Alqonuni, dan beberapa pihak lainnya.
Secara umum, beberapa Pemohon mempersoalkan penerbitan Perppu Ormas. Menurut Pemohon, penerbitan Perppu tidak dalam keadaan genting dan mendesak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
Beberapa Pemohon juga mempersoalkan pemidanaan terhadap anggota ormaa yang dianggap menyimpang, seperti yang tertuang dalam Pasal 82A Perppu Ormas.
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa anggota dan/atau pengurus ormas yang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu keamanan, ketertiban dan melakukan tindakan yang menjadi wewenang penegak hukum, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama satu tahun.
Anggota dan/atau pengurus ormas yang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila juga dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.