Kepentingan politik dan ekonomi
Sementara itu, dikutip dari situs berita Deutsche Welle, Kepala Bidang Penelitian pada South Asia Democratic Forum (SADF) Siegfried O. Wolf berpendapat, krisis yang dialami warga Rohingya lebih bersifat politis dan ekonomis.
Siegfried menuturkan, komunitas warga Rakhine yang beragama merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma.
Di sisi lain, warga Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri.
Selain itu, kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka.
(Baca: Said Aqil: Pemerintah Cepat Tanggap Bantu Rohingya, Bukan Pencitraan)
"Ini menyebabkan tambah runcingya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut," ujar Siegfried.
Rohingya merupakan salah satu suku minoritas di Myanmar. Mereka telah menetap di negara itu selama beberapa generasi, tepatnya di wilayah negara bagian, Rakhine. Namun, Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Alih-alih, mereka menyebut Rohingya adalah imigran muslim ilegal asal Banglades.
Kekerasan yang dialami Warga Rohingya semakin menjadi-jadi sejak junta militer menguasai Myanmar mulai era 1960-an. Lalu, pada 1982, terbit Burma Citizenship Law, yang tak memasukkan Rohingya sebagai warga negaranya. Burma adalah nama lama Myanmar hingga berubah pada 1989.
Di Myanmar, Rohingya kerap dianggap bagian dari suku Bengali—wilayah Banglades—karena pada 1960-an suku ini pernah mengungsi massal ke wilayah Bengali akibat represi militer.
Namun, tudingan bahwa Rohingya sejatinya orang Bengali pun tak sejalan dengan sikap Pemerintah Banglades. Negara ini pun tak mau menyambut orang Rohingya sebagai warga negaranya, meski menampung seribuan pengungsi dari suku tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.