JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah DPR "membenahi" KPK melalui hak angket diibaratkan seperti menembak bebek menggunakan senjata meriam. Hal ini disampaikan Ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, dalam sidang uji materi terkait hak angket terhadap KPK yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2017).
"Saya membayangkan kalau itu masalah administratif, tidak perlu hak angket. Karena kalau mau (selesaikan masalah) administratif untuk angket, bayangan saya mirip nembak bebek pakai meriam," kata Zainal.
Ia melanjutkan, terkait pembenahan masalah administratif pada KPK dapat diselesaikan melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP). Dalam rapat tersebut DPR bisa menyampaikan berbagai masukan kepada KPK.
"Kalau itu soal administratif, menurut saya, silakan bangun saja dengan RDP, cukup," kata Zainal.
(Baca: MK Tolak Keluarkan Putusan Provisi pada Uji Materi Hak Angket KPK)
Menurut Zainal, perihal lembaga independen di Indonesia memang perlu diperjelas dan diatur lebih rinci, sehinga tidak kembali menjadi polemik ke depannya.
"Saya mengatakan bahwa lembaga negara independen di kita memang harus diperjelas kedepan. Tapi bukan berarti hari ini bisa kita bangun saja menurut tafsiran kita, bahwa tiba-tiba angket bisa dilakukan. Karena kalau bisa dilakukan tanpa konsep jelas, menurut saya itu akan berantakan," papar Zainal.
Para pemohon uji materi mengajukan gugatan ke MK dengan alasan bahwa hak angket yang tertuang dalam Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya berlaku bagi pemerintah, dan tidak ditujukan kepada lembaga lainnya.
Para pemohon, meminta MK mempertegas makna "...dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan" yang ada di dalam pasal tersebut.
(Baca: Jika Belum Ada Putusan MK, KPK Tak Akan Hadiri Undangan Pansus Angket)
Sidang uji materi hari ini ditujukan untuk pemohon nomor perkara nomor 40/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh para pegawai KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK, yang permohonannya teregistrasi dengan nomor perkara 47/PUU-XV/2017.
Selain itu, pemohon dengan nomor perkara 36/PUU-XV/2017, yakni gabungan mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum yang menamakan dirinya sebagai Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, serta Pemohon nomor perkara 37/PUU-XV/2017, yakni Direktur Eksekutif Lira Institute, Horas AM Naiborhu.