Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Frans Magnis: Kalau Bisa Memafkan, Kita Mensyukuri Rahmat Tuhan

Kompas.com - 20/06/2017, 19:01 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar etika dan filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Franz Magnis Suseno mengatakan, korban pelanggaran HAM di masa lalu tidak boleh diam.

Hal itu disampaikan Frans Magnis dalam acara buka puasa bersama bertajuk "Musnahkan Kebencian dengan Cinta" yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan dihadiri para keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu, Selasa (20/6/2017).

Jika berbicara soal integritas sebuah bangsa, menurut Frans, maka suara agar keadilan diwujudkan perlu disampaikan kepada negara. Apalagi, keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu.

"Sebagai integritas bangsa, kita menyuarakan ketidakadilan yang terjadi," kata Frans Magnis.

Namun, Frans melanjutkan, sikap diam yang ditunjukan keluarga korban juga merupakan hal baik. Dia menilai sikap diam itu menunjukkan manusia yang telah mengamalkan nilai-nilai ketuhanan.

"Kalau kita sendiri bisa memafkan, kita mensyukuri rahmat Tuhan," kata Frans Magnis.

(Baca: Saat Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berusaha Saling Menguatkan...)

Menurut Frans Magnis, dengan adanya nilai-nilai Pancasila, maka semestinya tidak ada pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Sebab, Pancasila mengajarkan keberagaman dan sikap saling menerima akan adanya perbedaan.

"Kalau boleh saya menyinggung Pancasila. Pancasila adalah lima sila yang indah tapi yang lebih dasar adalah dalam bangsa Indonesia bersedia saling menerima dalam kekhasan dan keberlainan. Begitu banyak budaya, dan agama dapat menyatu tanpa dipaksa," kata dia.

Menurut Frans, penghinaan terbesar terhadap Pancasila terjadi pada peristiwa tahun 1965 dan 1966.

(Baca: Aksi Kamisan ke-493, Sumarsih Tidak Lelah)

"Bahwa sebagai pembalasan aparat kita membunuhi ratusan ribu bangsa sendiri, memerkosa ribuan wanita Indonesia. Untuk selamanya menjadi penghianatan rerbesar selama ini,"

Kejadian itu, menurut Frans, lebih mengerikan dari yang terjadi di bangsanya, yakni di Jerman.

Dalam kesempatan ini, Frans mengajak para keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu untuk tidak jatuh ke dalam perasaan sakit hati dan terus meyakini bahwa bahwa pelanggaran HAM di masa lalu dapat dituntaskan.

"Dalam bulan puasa ini, bukan hanya umat islam tapi semua, bahwa Ia (Tuhan) lah yang membuka hati kami memberikan rahmat dan belas kasih bahwa keadilan akan terjadi dan para Korban tidak akan dilupakan," ujarnya.

Kompas TV Istri almarhum aktivis HAM Munir, Suciwati mengaku kecewa dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan keputusan komisi informasi pusat terkait dokumen tim pencari fakta. Suciwati menilai putusan PTUN sama saja dengan melegalkan kejatahan negara atas dugaan menyembunyikan atau menghilangkan dokumen tim pencari fakta kasus munir. Suciwati menganggap putusan PTUN bertentangan dengan fakta-fakta bahwa dokumen telah diserahkan kepada pemerintah di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Suciwati juga menganggap terjadi kejanggalan dalam pemeriksaan permohohan di PTUN karena dilakukan tidak secara terbuka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com