YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dunia peradilan di Indonesia dinilai belum berjalan ideal. Hal ini lantaran masih terlalu besarnya peran Mahkamah Agung (MA).
Padahal, di sisi lain, ada Komisi Yudisial (KY) yang dibentuk untuk mengimbangi peran MA sebagai lembaga tertinggi penyelenggaraan peradilan. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyayangkan kondisi ini.
Terlebih, saat ini KY kurang tegas dalam mengkritik MA. "Sudah kewenangannya lemah, tapi KY masih berbasa-basi dengan MA. Harusnya sudah mulai bersikap yang lebih tegas," ujar Feri dalam diskusi di University Club UGM, Yogyakarta, Rabu (24/5/2017).
"Misalnya, mengumumkan siapa saja keluarga hakim yang terlibat dalam proses seleksi, tapi enggak berani. KY masih tanggung-tangung (dalam bersikap)," tambah Feri.
Menurut Feri, rektrumen hakim akan lebih tepat jika MA berbagi tanggung jawab bersama KY. Sehingga, ada pemantauan dalam prosesnya.
Hakim-hakim yang dihasilkan pun akan lebih memberikan jaminan yang lebih berintegritas. Konsep berbagi tanggung jawab atau shared responsibility system ini sudah diterapkan di sejumlah negara.
Misalnya di beberapa negara di Eropa, seperti di Perancis, Italia, dan Jerman. Di ketiga negara tersebut, MA fokus pada masalah Yudisial, sementara lembaga serupa KY akan fokus pada hal rekrutmen mutasi dan pengawasan peradilan.
Selain itu, lanjut Feri, dalam hal merekrut pimpinan sejumlah lembaga negara, konsep berbagi tanggung jawab juga diterapkan. Misalnya, dalam seleksi anggota KPU dan Bawaslu.
Pada prosesnya, DPR dan Pemerintah bekerjasama menyelenggarakan rekrutmen. Feri pun mempertanyakan sikap MA yang ingin menutup adanya peran lembaga lain dalam hal rekrutmen hakim. "Kenapa ma hanya ingin fokus ini (rekrutmen) di MA saja?," kata Feri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.