JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan, adanya Pasal 153 (1) poin f dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar larangan menikah dengan rekan satu kantor, memiliki pertimbangan yang jelas.
"Menurut saya itu aturannya bener banget," kata Hariyadi dihubungi Kompas.com, Rabu (17/5/2017).
"Sekarang bayangin, suami-istri kerja di bank. Apa mereka enggak main? Itu (larangan) bukan masalah hak asasi. Tapi, ini masalah menghindari risiko," ujarnya lagi.
Apabila ada hubungan perkawinan, maka dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan dalam bekerja. Maka, pasal tersebut ada untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik (good governance).
"Ini masalah governance. Bukan masalah hak asasi," ucap Hariyadi.
(Baca: Tolak Larangan Menikahi Teman Sekantor, 8 Pegawai Gugat Aturan ke MK)
Larangan dalam UU Ketenagakerjaan ini juga dimaksudkan untuk menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, Hariyadi berpendapat seharusnya Pasal 153 (1) poin f ini tetap dipertahankan.
"Harus dipertahankan. Karena kalau enggak, kacau dong. Orang bisa main lho. Hubungan famili saja mereka bisa kong-kali-kong kok," katanya.
Sebelumnya, Jhoni Boetja bersama tujuh orang lainnya, mengajukan uji materi ke MK.
Mereka mempermasalahkan ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang mengatur hak pengusaha untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) atas pekerja dalam satu perusahaan yang memiliki ikatan perkawinan setelah perjanjian kerja disepakati oleh kedua belah pihak.
(Baca: "Banyak Pekerja Sekantor yang Mau Menikah, tetapi Menunggu Putusan MK" )
Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan melanggar hak konstitusionalnya.
Adapun ketentuan tersebut berisi tentang pelarangan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang memiliki ikatan perkawinan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja.
Para pemohon menilai aturan itu berpotensi menghilangkan pekerjaannya akibat perkawinan sesama pegawai.
Menurut para pemohon, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam UU Perkawinan dan UU Hak Asasi Manusia.