Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/05/2017, 20:14 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

ARUS pemberitaan di media massa nasional pada Senin (8/5/2017) tiba-tiba melaju kencang. Ini gara-gara muncul berita pemerintah berencana membubarkan organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Pemicunya adalah pernyataan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang dilansir pada hari itu juga. Inti dari lima poin pernyataan itu adalah pemerintah berencana melakukan upaya membubarkan HTI.

"Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto saat memberikan keterangan pers soal rencana itu, di kantornya, di Jakarta, Senin. 

(Baca juga: Pemerintah Bubarkan Hizbut Tahrir Indonesia)

Terlepas setuju atau tidak, pernyataan tersebut bukan hal sederhana bila menyangkut organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar, memiliki badan hukum, dan sudah beraktivitas pula sekian lama di Indonesia.

Tiga peraturan perundangan pun sontak berkelabat terkait kabar ini. Peraturan pertama adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dua peraturan berikutnya adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 sebagai aturan pelaksanaan dari UU tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Pernyataan yang dibacakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto terkait rencana Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)Dok Kompas.com Pernyataan yang dibacakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto terkait rencana Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Sejumlah pertanyaan juga langsung merebak. Ada apa di balik langkah vulgar pemerintah ini?

Terlebih lagi, momentumnya berentetan dengan Pilkada DKI Jakarta yang oleh sejumlah kalangan dituding bermuatan SARA. Langkah ini juga tak berjeda waktu lama dengan kembali mencuatnya slogan-slogan soal asas Pancasila di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rangkaian peristiwa di atas terlalu kasat mata untuk dinafikan oleh siapa saja yang mencermati pemberitaan di media massa dan aliran linimasa media sosial selama setidaknya setengah tahun terakhir.

(Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Bubarkan Hizbut Tahrir Indonesia)

Sebelum lebih jauh masuk ke pusaran asumsi dan opini terkait rangkaian peristiwa itu, ada baiknya mencermati dulu tiga regulasi terkait organisasi kemasyarakatan di atas. Sederet pertanyaan sudah muncul dari situ.

Kalau yang dipersoalkan adalah asas atau peran sebagai organisasi kemasyarakatan, HTI lolos memiliki badan hukum. Kok waktu itu bisa lolos?

Untuk mendapatkan “sertifikasi” badan hukum, syaratnya sudah berderet. Di antara syarat itu adalah anggaran dasar/anggaran rumah tangga, yang tentu saja mengharuskan pencantuman asas, kegiatan, dan pernak-pernik administratif lain.

(Baca juga: HTI: Coba Tunjukkan, di Mana Kami Sebut Anti-Pancasila?)

Katakanlah organisasi ini mendapatkan status badan hukum lebih dulu daripada penerbitan regulasi terakhir yang berlaku, kok ya baru sekarang fungsi pengawasannya mendadak begitu kencang?

Baiklah, kilahnya pasti pakai alasan Peraturan Pemerintah yang baru terbit di pengujung 2016. Sudah nyaris hafal dalih klasik “selama belum ada aturan pelaksanaannya, amanah UU tak akan bisa dijalankan seketika, kecuali UU itu sudah komplit mengatur sampai pelaksanaan”.

Jadi pengin pakai kutipan Dian Sastrowardoyo di film Ada Apa dengan Cinta?, setiap kali mendengar dalih itu. “Salah gue? Salah temen-temen gue?

Halaman berikutnya: Menjawab sejumlah tanya

Menjawab sejumlah tanya

Sebab, setiap warga negara bisa juga balik mempertanyakan lamanya jeda waktu dari penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2013 dan PP Nomor 58 Tahun 2016 sebagai aturan pelaksanaannya.

Selitar seratusan massa dari Gerakan Rakyat Tolak RUU Ormas saat menggelar aksi di depan Gedunh MPR/DPR, Jakarta, Selasa (25/6/2013).KOMPAS.com/Indra Akuntono Selitar seratusan massa dari Gerakan Rakyat Tolak RUU Ormas saat menggelar aksi di depan Gedunh MPR/DPR, Jakarta, Selasa (25/6/2013).

Buat catatan, UU Nomor 17 Tahun 2013 terbit pada 22 Juli 2013. Adapun PP Nomor 58 Tahun 2016 keluar pada 6 Desember 2016.

Oh, yang dipersoalkan aktivitas HTI dianggap mengancam dan membahayakan ketertiban masyarakat? Orang bisa mempersoalkan, aktivitas mana yang dimaksudkan? Publik punya acuan, kalau soal bikin resah, misalnya, rasanya ada sejumlah kelompok lain yang lebih bikin deg-degan setiap kali disebut namanya.

Ada juga frasa “sesuai aspirasi masyarakat” di pernyataan kementerian? Sekali lagi, dengan alasan ini, pihak yang terlibat bisa mempertanyakan masyarakat yang mana dulu?

Serentet pertanyaan itu harus mulai menjadi bahan diskusi dan dicermati publik, bukan semata soal pro atau kontra HTI. Menyangkut kepentingan publik, daya kritis warga akan selalu muncul. 

Alasan yang bisa dipakai, sekali warga negara abai pada setiap detail seperti ini, bisa jadi esok hari organisasi kemasyarakatan lain akan mengalami nasib serupa dengan langkah tak beda. Itu lah mengapa, setiap langkah harus betul-betul diukur luasan dimensinya, tak sekadar menjatuhkan "vonis".

Kembali ke regulasi yang dilansir pemerintah terkait organisasi kemasyarakatan, ada sejumlah langkah yang mutlak dijalankan pemangku kepentingan untuk bisa sampai kata “pembubaran”.

(Baca juga: Pemerintah Tempuh Jalur Hukum untuk Bubarkan HTI)

Untuk dapat menjatuhkan sanksi, pemerintah harus memastikan dulu organisasi kemasyarakatan terbukti melanggar sederet larangan.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2013, daftar larangan itu termuat pada Bab XVI berisi Pasal 59 dengan empat ayat yang masing-masing punya rincian lagi.

(Baca juga: Penjelasan Kapolri soal Mekanisme Pembubaran HTI)

Adapun sanksi pada Organisasi Kemasyarakatan tercantum pada Bab XVII UU Nomor 17 Tahun 2013. Bab ini mencakup Pasal 60 sampai Pasal 82. Sampai padanan makna kata “membubarkan” bisa terjadi, langkah yang mutlak dijalankan pemerintah bertingkat-tingkat.

Sanksi dimaksud harus dimulai dari surat peringatan tertulis pertama, penghentian kegiatan, dan baru sampai pada makna “pembubaran”. Untuk organisasi kemasyarakatan tak berbadan hukum, upaya itu butuh pendapat dari Mahkamah Agung.

Adapun untuk yang berbadan  hukum, sanksi terberat harus berdasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan  hukum tetap. Upaya hukum pun, merujuk tiga peraturan perundangan di atas, tetap mensyaratkan langkah administratif dari level terendah.

Pasal 70 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi KemasyarakatanDok Kompas.com Pasal 70 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan warga terkait pengumuman ini. Misalnya, sudahkah sejumlah langkah atau prosedur itu ditempuh? Pernahkah dipublikasikan bila memang sudah dilakukan? Kalau belum ada langkah awal, mengapa langsung ada pengumuman di tingkat kementerian koordinator untuk rencana tersebut?

Sampai di sini, sudah menjadi tugas warga negara yang kritis untuk bersama-sama mengawal setiap rencana langkah strategis pemerintah. Bagaimana pun, penegakan hukum tetap harus melalui proses dan prosedur yang benar, di luar segala pro dan kontra terkait subjek dan objeknya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Nasional
Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum 'Move On'

Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum "Move On"

Nasional
Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com