Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaki Pemimpin Negeri

Kompas.com - 28/04/2017, 20:53 WIB

oleh: Saifur Rohman

Seorang warga Kedoya, Jakarta Barat, memaki Gubernur Nusa Tenggara Barat dengan ucapan yang mengidentifikasi korban sebagai pribumi, kebangsaan Indonesia, dan hewan kotor saat di Bandara Internasional Changi, Singapura (Minggu, 9/4/2017).

Makian itu terlontar karena sang gubernur diduga menyerobot antrean dalam jalur lapor masuk (check in) di lapak Batik Air.

Belum setengah tahun lalu, seorang warga negara sekaligus penyanyi pop yang cukup dikenal publik memaki Presiden Joko Widodo dengan nama hewan-hewan yang tidak pantas di depan Istana Kepresidenan, Jakarta (4/11/2016). Hal itu disebabkan Presiden diduga tidak menindak tegas pelaku penghinaan pemuka agama. Konteksnya, penyanyi yang juga pernah menjadi calon wakil kepala daerah itu berorasi di depan para demonstran.

Dua peristiwa tersebut memberikan sketsa yang mirip tentang sikap warga negara terhadap pemimpin. Ketika berbicara adalah salah satu hak asasi tiap individu, bagaimana seorang pemimpin mengambil sikap dalam konteks komunikasi kebangsaan?  Konkretnya, bagaimana pemerintah mendekati persoalan itu? Bagaimana kita mengelola kebebasan?    

Salah identifikasi

Suka atau tidak, pemerintah selama ini salah mengidentifikasi tentang kebebasan berekspresi hanya sebagai persoalan kebencian dalam ujaran. Ucapan yang diduga ekspresi kebencian sebetulnya hanya implikasi etis dari sebuah nilai kebebasan. Itulah kenapa pada akhirnya dapat dikatakan pemerintah perlu pemahaman yang lebih jelas dalam mengelola kebebasan setiap warga negara sebagai dinamika komunikasi kebangsaan. 

Sebagai ilustrasi, ketika muncul Surat Edaran No 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, itu sebetulnya dapat dibaca sebagai respons atas "kebebasan berbicara" di depan publik melalui teknologi komunikasi  yang makin marak. Teknologi komunikasi dianggap faktor penyebab tingginya ucapan kebencian, tetapi di saat yang sama teknologi itu pula yang membeberkan bukti yang lebih nyata ketimbang perkembangan teknologi.

Melalui media sosial, di Aceh, digambarkan seorang pria mencaci maki petugas kepolisian di jalanan hanya karena diingatkan pada malam Tahun Baru 2017 agar memindahkan mobilnya, Minggu (1/1). Sebelumnya, di Jakarta, seorang pegawai Mahkamah Agung memaki aparat satuan lalu lintas bernama Aiptu Sutisna di Jalan Jatinegara Barat, Selasa (13/12/2016). Konteksnya pelaku tidak terima karena ditegur aparat dalam berkendara.

Akan tetapi, ternyata persoalan dasar bukan itu. Ada fakta-fakta moral dasar warga negara yang hilang dalam praktik berbangsa. Sekurang-kurangnya ada tiga asumsi tentang kebebasan dan moral yang disalahpahami.

Pertama, hak bebas berekspresi. Secara khusus, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat mendapatkan ruang yang dijamin oleh mekanisme perundang-undangan dalam konteks kebangsaan di negeri ini. Negara menyadari pentingnya ruang yang cukup bagi setiap warganya menyampaikan pikiran melalui berbagai media, baik untuk kepentingan pribadi maupun umum. Rinciannya  adalah bebas berusaha, mengeluarkan pikiran, dan bebas berkelompok. Atas dasar kebebasan itulah setiap orang punya pijakan untuk memberikan respons sebebas-bebasnya atas tindak tanduk pemimpin.

Kedua, hak moral pribadi. Asumsi adanya kebebasan itu didasari temuan-temuan filosofis Immanuel Kant dalam buku Metafisika Moral. Dia membuktikan bahwa setiap individu secara intuitif memiliki batasan-batasan alamiah dalam bertindak. Itulah yang disebut Kant sebagai individu otonom karena mampu menentukan kebaikan untuk diri dan lingkungannya. Sebaliknya, individu heteronom butuh perangkat-perangkat etis untuk memandu kebebasan yang dimiliki. Otonomi moral ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan pemenuhan tuntutan-tuntutan yang lebih besar.   

Ketiga, salah paham etika dan etiket.  Kebebasan adalah asumsi etis dan sopan, salah satu implikasi etis. Dengan kata lain, sopan adalah etiket, sedangkan jawaban atas pertanyaan "mengapa harus sopan" adalah etika. Jadi, frasa "etika komunikasi" sebetulnya menjawab apa saja instrumen ketika komunikasi itu dilaksanakan sehingga bisa disebut pantas atau baik. Sementara itu, etiket komunikasi memberikan petunjuk praktis untuk sikap yang pantas dalam berkomunikasi. Sebab, pada dasarnya etika mempersoalkan mengapa sebuah perilaku disebut pantas atau tidak pantas, etiket membahas cara berperilaku yang baik.

(Baca juga: 2016, Konten Berisi Ujaran Kebencian Paling Banyak Diadukan ke Polisi)

Mengelola kebebasan 

Jadi, perilaku yang tidak pantas sebetulnya mencerminkan prinsip-prinsip etika yang tidak rasional. Dengan kata lain, penertiban kasus-kasus yang terkait dengan etiket pemimpin tanpa pelurusan prinsip etika sama saja memotong rumput tanpa mencabut akar.      

Halaman:


Terkini Lainnya

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Nasional
Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com