Etika komunikasi dalam kepemimpinan menembus tata cara yang sudah dianggap baik ketika berbicara dengan pemimpin. Sebagai ilustrasi, pada masa gejolak 1966, Presiden Soekarno menyatakan demonstrasi sudah melewati batas, liar, dan tidak sopan sehingga perlu dihentikan. Sebagai pengikut, Soeharto pada masa itu justru membenarkan sikap demonstran. Ketika dipanggil oleh Soekarno untuk menghentikan demo besar-besaran, Soeharto menolak. Penolakan itu didasari dengan prinsip "mikul dhuwur mendhem jero" (sebagaimana dikutip dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1982: 165). Artinya menjunjung tinggi nama baik dan mengubur kekurangan pemimpin kita.
Dengan prinsip itu, Soeharto justru tidak melaksanakan perintah Presiden Soekarno, membubarkan partai komunis, dan melakukan suksesi bertahap. Anehnya, ketika peristiwa serupa menimpa Soeharto sebagai presiden, dia menyatakan akan "menggebuk" setiap warga negara yang dinilai membangkang.
Fakta tersebut menunjukkan adanya teknik komunikasi terhadap pemimpin. Pesannya, moralitas menuntut bukan sekadar basa-basi, melainkan penuh penghargaan dan ketulusan. Itulah kenapa prinsip-prinsip etis yang sudah baku dalam komunikasi tidak selalu membawa kebaikan. Di sinilah tepatnya teori kebebasan berhenti. Sebagai contoh dalam etika organisasi, komunikasi antara pengikut dan pemimpin mencakup keharusan diri menegakkan sikap yang kondusif antara pemimpin dan pengikut, demikian pula sebaliknya untuk tujuan organisasional.
Kasus itu menunjukkan Soeharto menolak perintah, tapi tidak memaki. Memaki pemimpin di depan umum sebetulnya memberikan indikasi fakta sosial tentang hadirnya kebebasan dalam iklim demokrasi, tetapi pada saat yang sama fakta itu menunjukkan lemahnya pengembangan nilai-nilai etis sebagai implikasi kebebasan setiap warga negara. Penangkapan terhadap pelaku penghinaan martabat orang lain memang penting, tapi mengelola kebebasan dalam bingkai kebangsaan jauh lebih penting. Jadi kebebasan sudah, mengelola untuk pertumbuhan bangsa belum.
SAIFUR ROHMAN,
Pengajar Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Memaki Pemimpin Negeri".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.