JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu ingin melangkah mundur dan mengulangi sejarah penyelenggaraan pemilu 18 tahun silam.
Hal itu menyusul munculnya wacana terkait pelibatan anggota partai politik dalam keanggotaan Komisi Pemilihan Umum.
"Penyelenggara pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan anggota partai politik peserta pemilu ditambah dengan perwakilan pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu," kata Titi melalui pesan singkat, Rabu (22/3/2017).
Adanya perbedaan kepentingan, kata dia, menjadi salah satu dasar pemicu kekacauan Pemilu 1999.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU seharusnya dapat bersikap adil dan demokratis dalam memfasilitasi pemilih dalam menentukan pilihan.
Sementara, partai politik sebagai peserta pemilu dianggap memiliki kepentingan untuk memenangkan kontestasi.
Keterlibatan anggota parpol di dalam KPU diyakini dapat menjadi sumber persoalan, terutama dalam proses pengambilan keputusan internal KPU.
"Di dalam penyelenggaraan pemilu 1999, anggota KPU yang berasal dari perwakilan partai politik tidak bekerja untuk menyelenggarakan pemilu dengan adil dan demokratis, tetapi sibuk untuk mencari cara bagaimana partai politik mereka bisa menang dalam pemilu," kata Titi.
(Baca: Pimpinan Pansus RUU Pemilu Kembali Wacanakan Anggota KPU dari Parpol)
Titi kemudian menjelaskan, saat pemilu 1999 silam, rapat-rapat penentuan kebijakan KPU dalam pelaksanaan pemilu 1999 banyak yang dibuat tidak kuorum dan deadlock oleh anggota KPU dari perwakilan partai politik.
"Tindakan mereka ini dilakukan untuk menghambat kebijakan yang berpotensi merugikan partai politik mereka dalam kontestasi pemilu 1999," ucap Titi.
Titi pun mengingatkan, dalam perubahan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 disebutkan secara eksplisit, bahwa sifat lembaga penyelenggara pemilu adalah mandiri.
Merujuk risalah perdebatan amandemen UUD 1945 tahun 2001, mandiri berarti terbebas dari keanggotaan partai politik.
Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi di dalam putusan Nomor 81/PUU-/IX/2011 menyatakan bahwa setiap calon anggota KPU dan Bawaslu harus mundur dari parpol minimal lima tahun sebelum pencalonan.
(Baca: Pansus RUU Pemilu Jangan Abaikan Putusan MK soal Syarat Anggota KPU)
Ia meminta agar Pansus RUU Pemilu memberikan perhatian serius terhadap sifat putusan MK yaitu final dan mengikat.
"Jika mereka memaksakan memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota KPU, ini jelas salah satu bentuk pembangkangan terhadap putusan pengadilan. Jika ini terjadi, tentu menjadi sebuah pelanggaran serius oleh anggota dewan," ucapnya.
Keanggotaan KPU dari partai politik pernah diterapkan di Indonesia pada Pemilu 1999. Dalam pemilu yang diikuti 48 partai politik itu, KPU terdiri dari unsur partai politik dan pemerintah.
Ketika itu, terdapat 53 komisioner KPU, yang dipimpin Mantan Menteri Dalam Negeri Rudini sebagai ketua.
Namun, keanggotaan KPU kemudian diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pemilu.
Dalam Pasal 8 pada UU Nomor 4 Tahun 2000 diatur bahwa "Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan nonpartisan."
Dengan aturan tersebut, maka komisioner KPU tidak lagi diisi oleh unsur partai dan pemerintah, namun terdapat proses seleksi untuk memilih komisioner KPU yang independen dan nonpartisan.