KOMPAS.com - Akhir pekan, sebenarnya tak asyik buat membahas topik berat. Namun, kasus dugaan korupsi dalam pengadaan e-KTP ternyata cukup mengusik. Tepatnya, berasa deja vu!
Sudah begitu, tak cuma satu yang rasanya "pernah dengar" atau "pernah lihat".
Adalah M Nazaruddin—mantan Bendahara Umum Partai Demokrat—yang barangkali harus kita "salahkan" untuk membuat akhir pekan ini jadi agak terlalu serius. Kenapa?
Perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto—keduanya mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri—yang disidangkan mulai 9 Maret 2017, seolah menggenapi tudingan Nazaruddin yang "terbukti" menjadi perkara hukum.
Sejak medio 2012, Nazaruddin sudah mengumbar sejumlah tudingan, termasuk nama-nama yang menurut dia bersilang-sengkarut di dalamnya.
Gambar tersebut melengkapi berita utama Kompas Siang—salah satu inovasi lawas harian Kompas—edisi 23 September 2013.
(Baca juga: Geger Nama di Kasus E-KTP, Satu Lagi Drama Urusan Identitas Tunggal)
Namun, tudingan Nazaruddin bukan baru keluar pada hari itu. Dia sudah berkicau banyak bahkan sejak masih dalam pelarian panjangnya antara Singapura dan Kolombia hingga "dijemput" pada 2012.
Menyimak dakwaan yang dibacakan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus ini, rasanya seperti mendengar lagi Nazaruddin lantang menyuarakan tudingan.
Misalnya, seperti dikutip Kompas.com pada 23 September 2013, Nazaruddin sudah nyaring menyebut dugaan markup di pengadaan e-KTP.
“Jadi gini, proyek nilainya Rp 5,9 triliun, saya, (Setya) Novanto, semua, merekayasa proyek ini, mark-up Rp 2,5 triliun,” kata Nazaruddin.
(Baca: Nazaruddin: "Mark-up" Proyek E-KTP Rp 2,5 Triliun)
Angkanya beda tipis dengan Rp 2,3 triliun yang disebut jaksa sebagai dugaan kerugian negara dalam kasus ini, bukan?
Belum lagi soal nama, di artikel tersebut sudah disebut setidaknya tiga nama yang sekarang juga muncul di dakwaan.
Ada diskusi segala, bahkan di gedung DPR, dan menghadirkan pengacara Nazaruddin. Setidaknya ini yang diberitakan Kompas pada edisi 20 September 2013.
Deja vu lain adalah soal nama orang-orang yang diduga terlibat perkara. Bukan kali pertama serombongan tokoh publik disebut dalam dakwaan kasus korupsi. Sebagian sudah dipenjara.
(Baca juga: Menyusuri Jejak Lama Bau Busuk Proyek E-KTP...)
Lagi-lagi, masih pada 2013, harian Kompas sempat pula membuat ilustrasi yang memetakan para pesohor politik dalam jeratan kasus korupsi. Itu pun baru sebagian partai.
Ilustrasi ini melengkapi berita utama harian Kompas edisi 14 Maret 2013. Memasang judul "Korupsi di Politik Sistemik", berita tersebut menengarai pula bahwa politisi mengincar sektor strategis.
Johan Budi—juru bicara KPK pada 2013 dan sekarang jadi juru bicara di Istana Negara—pernah pula dikutip dengan ujaran, "(Kasus Hambalang) itu halaman ketiga, dan akan ada halaman keempat, kelima, dan seterusnya.”
Buat penyegar, waktu itu sedang lumayan tenar penggunaan kata "halaman", menyusul berbagai pernyataan dari mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Katakanlah kasus e-KTP merupakan halaman keempat, jangan-jangan benar masih ada halaman kelima dan seterusnya?
Lalu, ujaran lama dari Lord Acton pun serasa berdenging kembali di kepala. Deja vu makin terasa bertalu-talu di kepala. "Power tends to corrupt...," tulis Acton, satu setengah abad silam.
Hujan sejak subuh pada akhir pekan ini—setidaknya di Jakarta—mendadak terdengar seperti iringan muram, untuk kemungkinan masih ada "misteri" tudingan Nazaruddin, yang entah tersisa berapa dan tentang apa lagi....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.