JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik langkah pemerintah yang akan mengambil jalan rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM dalam Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus TSS).
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono menilai, langkah ini menunjukkan tak ada iktikad baik pemerintah untuk meneruskan proses ini secara hukum.
"Pemerintah tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menempuh jalur non-yudisial tanpa adanya kejelasan proses yudisial. Terlebih lagi hanya didasarkan pada alasan pilihan politik," ujar Supriyadi melalui keterangan tertulis, Selasa (31/1/2017).
Keputusan tersebut justru dianggap mengingkari janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin menyelasaikan masalah pelanggaran berat HAM masa lalu.
Padahal, kata Supriyadi, pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung sangat berwenang untuk menuntaskannya melalui peradilan HAM ad hoc. Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
(Baca: Pemerintah Putuskan Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi)
Namun, ia menyayangkan pasifnya pemerintah untuk mewujudkan terbentukan peradilan tersebut. Meski begitu, kata Supriyadi, bukan berarti ICJR menentang keras upaya rekonsiliasi.
"Tapi tanpa adanya pengungkapan kebenaran terlebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh pemerintah, maka pemerintah dapat dianggap lari dari tanggung jawab kemanusiaan," kata Supriyadi.
Supriyadi mengatakan, Komnas HAM sebenarnya teah selesai menyelidiki Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II berdasarkan UU Pengadilan HAM pada Maret 2002.
Namun, hingga saat ini, Jaksa Agung belum melakukan penyidikan yang layak terhadap kasus-kasus tersebut.
Menurut dia, hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM seharusnya cukup untuk menaikkan kasus-kasus tersebut ke proses penyidikan.
"Belum lagi karena baik korban, saksi dan pelaku pada dasarnya masih hidup dan lebih dari cukup untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan," kata Supriyadi.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan langkah non yudisial itu diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini.
Imdadun mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc. Selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Secara terpisah, Menko Polhukam Wiranto mengatakan, pemerintah menginginkan adanya bentuk penyelesaian kasus HAM masa lalu tanpa menimbulkan masalah baru.
Hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain. KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.