Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Fatwa MUI, Hukum Positif, dan Hukum Aspiratif

Kompas.com - 22/12/2016, 17:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertama, bagaimanakah status kelembagaan MUI sendiri? Lalu, kedua, apakah MUI adalah lembaga yang bisa menghasilkan hukum positif?

Pertanyaan pertama lebih sulit untuk dijawab: Apakah status hukum dari MUI?

Dibentuk pada tahun 1975, dalam diri MUI ada berbagai sifat badan hukum, seperti ciri lembaga negara, organisasi masyarakat, bahkan ada pula yang berpandangan berciri lembaga swadaya masyarakat.

Misalnya, Profesor Tim Lindsey, Direktur CILIS (Center for Indonesian Law, Islam and Society) pada Melbourne University Law School berpendapat bahwa MUI adalah LSM yang juga mempunyai bersifat organ publik negara atau Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization (QuANGO).

Sifat MUI sebagai lembaga negara paling kuat terasa pada kewenangannya menerbitkan sertifikasi halal serta menerima dana sertifikasi halal, peran mana akan beralih kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Namun, ciri organ negara itu gugur salah satunya karena uang publik yang dikumpulkan tersebut tidak diizinkan diperiksa oleh komisi audit negara, utamanya BPK dan BPKP.

Apapun bentuk badan hukum MUI, pertanyaan kedua lebih mudah untuk dijawab. MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara yang “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah undang-undang” sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.

Memang, MUI disebutkan dalam beberapa Pasal UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, namun itu bukan berarti MUI dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan undang-undang. Karena itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif di Tanah Air.

Konsekuensinya, Fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia. Fatwa MUI hanya bisa menjadi hukum positif jika substansinya ditetapkan oleh organ negara yang berwenang untuk menjadi peraturan perundangan sebagaimana diatur jenis dan hirarki dalam UU No 12 Tahun 2011 di atas.

Selama belum ditetapkan sebagai hukum positif, maka Fatwa MUI adalah hukum aspiratif dalam konteks hukum nasional. Karena bukan sebagai hukum positif itu pula, maka secara teori, Fatwa MUI tidak dapat menjadi objek uji materi perundangan di hadapan meja hijau Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, misalnya, kedudukan Fatwa MUI adalah sama dengan pendapat ahli lainnya.

Posisi MUI dengan fatwanya adalah sama dengan dengan posisi pendapat ahli hukum, bahasa, dan agama yang diundang Bareskrim Polri dalam gelar perkara kala itu.

Tegasnya, Fatwa MUI dalam gelar perkara itu adalah salah satu pendapat, dari banyak pendapat yang didengarkan oleh Polri, dan bukan hukum positif yang kedudukannya mengikat untuk dilaksanakan aparat penegak hukum.

Lebih jauh, karena Fatwa MUI itu hanya pendapat, maka posisinya di hadapan majelis hakim persidangan kasus Ahok adalah salah satu alat bukti surat, yang sama dengan alat bukti lainnya, sekali lagi, bukan hukum positif yang sifatnya mengikat majelis.

Karena bukan hukum positif dan tidak mengikat itu, maka sifat Fatwa MUI tidaklah mempunyai kekuatan hukum memaksa sebagaimana hukum positif pada umumnya. Lebih jauh, apabila dikaitkan dengan hukum pidana, maka Fatwa MUI tidak bisa menjadi instrumen hukum yang menjadi dasar dilakukannya upaya hukum memaksa (seperti sweeping) ataupun menjadi dasar dijatuhkannya sanksi pidana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com