Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aturan Penistaan Agama, Pasal Lentur tetapi Tak Pernah Ada yang Lolos

Kompas.com - 18/11/2016, 07:44 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai penerapan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus dugaan penistaan agama berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia.

Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam mengatakan, pasal tersebut merupakan pasal karet dan tidak memberikan kepastian hukum.

Menurut Choirul, pada umumnya dalam kasus penistaan agama, polisi menggunakan logika ketersinggungan perasaan, bukan materiil perbuatan yang menjadi acuan.

"Pasal itu sangat lentur dalam penerapannya dan tidak memberi kepastian hukum. Pola umumnya polisi menggunakan logika soal perasaan atau ketersinggungan dalam menetapkan tersangka penista agama," ujar Choirul saat dihubungi, Kamis (17/11/2016).

Tak pernah lolos

Choirul menuturkan, pasca-reformasi Pasal 156 a cenderung sering digunakan karena perumusannya yang longgar. Namun, tujuannya bergeser keluar dari konteks agama dan penegakan hukum, melainkan politik.

Dari banyak kasus penistaan agama, seperti yang pernah dialami oleh Arswendo Atmowiloto, HB Jassin, dan Tajul Muluk, tidak pernah ada yang lolos dari Pasal 156 a.

"Tidak pernah ada yang lolos dari tuntutan penistaan agama menggunakan Pasal 156 a. Ada yang pernah lolos, tetapi dikenakan Pasal 157. Pasal ini selalu berkelindan dengan kepentingan politik atau di luar persoalan agama dan hukum," ucapnya.

Choirul sebelumnya menjelaskan, dalam menetapkan status tersangka, seharusnya ada dua unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 156 a KUHP.

Pertama, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Kedua, unsur maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Choirul mencontohkan pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengutip surat Al Maidah ayat 51.

Menurut Choirul, sulit untuk membuktikan apakah Ahok mencoba menghasut orang untuk meninggalkan agama tertentu.

"Seharusnya kasus Ahok tidak bisa dilanjutkan karena unsur kedua tidak terpenuhi. Kedua unsur jadi satu kesatuan, bukan dipisah seperti kebanyakan anggapan ahli pidana saat ini," kata Choirul, Selasa (15/11/2016) lalu.

(Baca juga: Penyikapan Kasus Penistaan Agama Dinilai Bisa "Mendewasakan" Demokrasi)

Subyektif

Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua Lembaga Penelitan dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad.

"Penodaan agama itu selalu pasal karet, definisinya tidak jelas. Seharusnya pasal penistaan agama itu diperketat," ucap Rumadi.

Rumadi menilai setiap proses hukum dalam kasus penodaan agama sangat bersifat subyektif.

"Selain itu kecenderungannya, aparat hukum mengikuti selera massa, seperti di kasus Lia Eden, Gafatar, dan kasus HB Jassin," ujar Rumadi.

"Perasaan selalu dipakai dalam kasus penistaan agama. Ukuran obyektifnya tidak ada, hanya mengandalkan perasaan," lanjutnya.

(Baca juga: Pasca-reformasi, Kasus Penistaan Agama Meningkat karena Politisasi)

Di sisi lain, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, istilah penodaan agama dan penistaan agama sebenarnya tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM.

Menurut Ismail, kasus penistaan agama tidak bisa diproses melalui jalur hukum karena agama sendiri bersifat abstrak dan sulit untuk mengukur sejauh apa seseorang dikatakan menista agama.

"Penodaan agama dan penistaan agama tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM. Kasus penodaan agama tidak bisa diselesaikan melalui produk hukum karena sifatnya abstrak. Jika dipaksakan maka jadi banyak kontroversi," ujarnya.

Kompas TV Peringatan Hari Toleransi Sedunia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com