Terpilihnya Cak Nur sebagai Ketua Umum PB HMI pada 1967 jadi peristiwa monumental karena tidak ada preseden dalam sejarahnya HMI dipimpin kader yang bukan berasal dari universitas sekuler, melainkan justru dari universitas Islam yang menguasai khazanah keilmuan Islam dan mewarisi tradisi politik Masyumi.
Seusai Kongres HMI 1969 di Malang, Cak Nur pulang ke Madiun, bukan dengan ekspresi wajah bahagia sehabis terpilih kembali sebagai satu-satunya ketua umum HMI dua periode (1967-1969 dan 1969-1971), melainkan justru dengan perasaan sedih di hadapan calon istrinya.
Omi menuturkan kembali apa yang diceritakan Cak Nur waktu itu: "akhirnya baru satu jam sebelum waktu pemilihan ketua umum, Cak Nur bersedia dicalonkan kembali dan terpilih demi keutuhan HMI", (Omi Madjid, 2015:52).
Cak Nur dinilai sebagai figur intelektual yang diharapkan mampu mewujudkan rekonsiliasi antara pemimpin HMI dan Masyumi yang memiliki sejarah konflik sejak awal, terutama terkait konsep dasar negara Indonesia dan pendirian teguh sikap Masyumi terhadap masalah politik praktis.
Sang pembaru Islam
Dalam situasi yang tidak ideal itu, Cak Nur berhasil melakukan dua ijtihad intelektual yang monumental untuk zamannya.
Pertama, Cak Nur melakukan pelembagaan ideologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada 1969, yang jadi panduan ideologis untuk semua kader HMI.
Melalui NDP, Cak Nur berhasil meneguhkan tradisi intelektual Islam dalam HMI yang telah pudar akibat konflik politik dan kesenjangan generasi tua dan muda.
Kedua, Cak Nur memberikan pidato tentang "keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat" pada 2 Januari 1970.
Dalam risalahnya itu, Cak Nur tampak gelisah dengan kondisi umat Islam Indonesia yang "telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan daya tonjok psikologis dalam perjuangannya".
Bahkan, organisasi pembaruan Islam yang sudah terlembaga secara modern, menurut Cak Nur, "telah menjadi beku sendiri karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yakni dinamika dan progresivitas".
Sebagai pembaru Islam, Cak Nur setia menggunakan tradisi internal Islam sebagai argumen modernisasi kehidupan umat Islam.