Setelah melewati puasa sebulan penuh, tidak terasa, hari raya Idul Fitri akhirnya tiba. Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengumumkan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H jatuh tepat pada tanggal 6 Juli 2016.
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, hari-hari menjelang dan setelah Lebaran diingat sebagai “hari tanpa kemacetan nasional” di Ibukota tercinta.
Hari-hari mendekati hari raya idul fitri, selalu saja ditandai dengan kegiatan yang khas “menjelang lebaran”. Demam THR (Tunjangan Hari Raya) melanda dimana-mana, demikian pula kegiatan yang hanya terjadi sekali sepanjang tahun, yakni “mudik lebaran”.
Khusus di dalam lingkungan keluarga akan terlihat demikian banyak yang dikerjakan oleh Bapak Ibu dan anak-anak untuk menyongsong datangnya hari Lebaran. Kegiatan khusus dan unik ini tentu saja diwarnai perubahan dari tahun ke tahun, menyesuaikan perkembangan jaman.
Banyak “kenangan manis” yang mengesankan dan sulit dilupakan kala saya menjalani masa kanak-kanak menjelang hari raya Lebaran. Kenangan yang dipastikan akan tetap abadi dan tidak mungkin terulang kembali.
Pada waktu saya masih bersekolah di SD, saat itu masih bernama Sekolah Rakyat atau SR (di akhir tahun 1950 hingga awal tahun 1960an) bulan puasa benar-benar menjadi bulan idaman dalam arti sesungguhnya.
Kala itu setiap menjelang bulan puasa tiba hingga beberapa hari setelah lebaran, anak-anak sekolah memperoleh libur panjang yang dikenal dengan liburan 40 hari. Libur sangat panjang yang bila kita kenang saat ini menjadi satu hal yang sulit dipercaya. Libur sekolah 40 hari? Namun itulah yang terjadi disaat itu.
Menjelang Lebaran, ayah dan ibu saya menjadi super sibuk mempersiapkan kedatangan hari raya, di tengah ibadah puasa dan tanpa ada pembantu. Ibu saya selalu membuat baju baru sendiri bagi anak-anaknya dari bahan sangat sederhana yang dibeli bersama beberapa keperluan lebaran lainnya di toko “De zon” Pasar Baru atau toko “Baba Gemuk” di Pasar Senen.
Bahan pakaian sederhana yang dibelinya itu biasanya dicicil 2 atau 3 bulan sebelum bulan puasa. Ibu saya membuat sendiri pola baju anak-anaknya yang sering disebutnya sebagai “patroon”, sebelum memulai menjahit baju.
Patroon digambar terlebih dahulu di atas kertas koran bekas, kemudian digunting di atas meja. Dengan patron itulah ibu saya memotong bahan baju untuk saya dan kakak saya.
Tentu saja , sebelumnya ibu mengukur sendiri ukuran badan anak-anaknya dengan meteran kain yang sudah disiapkan. Saat itulah saya mengenal pensil merah biru yang diperoleh ibu dari ayah saya untuk membuat patron baju.
Potlod atau pensil merah biru adalah sebuah pensil dengan dua ujung yang dapat diraut dan masing-masing berwarna merah dan biru.
Setelah bahan kain selesai dipotong, potongan-potongan itu digulung dan dilipat sekaligus dengan patron dari koran bekas kemudian diikat serta ditandai dengan nama saya atau kakak saya.
Potongan itu disimpan terlebih dahulu sampai tiba saatnya ibu saya memiliki waktu luang untuk menjahit baju. Dua minggu sebelum lebaran, terkadang juga sudah mepet beberapa hari jelang lebaran, baru ibu saya menjahit pakaian bagi saya dan kakak saya.
Tradisi saat itu hari lebaran harus memakai pakaian baru. Pada masa anak-anak itulah saya dan kakak saya diajar ibu untuk membantu memasang kancing. Kakak dan saya harus memasang atau menjahit kancing baju masing-masing.