Terkadang jari tertusuk jarum dan tidak jarang kancing yang terpasang miring-miring tidak segaris dengan lubang kancingnya, walau sudah diberi tanda.
Ibu saya yang memotong dan menjahit sendiri baju termasuk membuat lubang kancingnya. Anak-anak dipastikan tidak akan bisa menjahit lubang kancing yang sangat rumit. Saat itu belum ada mesin jahit pembuat lubang kancing.
Lubang kancing harus di jahit tangan, dan ibu saya sangat mahir membuat lubang kancing yang terkadang dilakukannya sampai berhari-hari baru selesai.
Saya dan kakak saya selalu menunggui ibu saya menyelesaikan perkerjannya membuat baju. Saya sering protes mengapa baju kakak saya yang selesai duluan, dan ibu saya selalu berkata karena dia adalah kakak saya, kakak yang lebih tua dari saya.
Saat ibu membuat baju, kakak saya dan saya biasanya siap di dekat ibu untuk membantu. Membantu mengambilkan gunting, membersihkan meja bekas memotong patroon, menggulung benang di “sekoci”, kelos kecil untuk di bawah jarum jahit di mesin jahit dan juga membantu memasukkan benang ke lubang jarum.
Ibu saya sedikit kesulitan untuk melihat lubang jarum yang sangat kecil itu. Anak-anak diajarkan agar mudah memasukkan benang ke lubang jarum yaitu dengan memotong ujung benang dengan arah yang sedikit miring, kemudian dibasahi sedikit agar mudah untuk diarahkan masuk kedalam lubang.
Ibu menjahit dengan mesin jahit “singer” yang digerakkan dengan kaki. Setiap mendengar suara mesin jahit berbunyi, saya dan kakak saya berlari-lari mendekat, sekedar mengecek saja baju siapa gerangan yang tengah dijahit. Kemudian bertanya terus , kapan kelarnya Mak, kapan kelarnya?
Ibu saya selalu dengan tenang dan tersenyum menjawab sabar ya , sabar ya, besok kelar. Ibu saya menyelesaikan sebuah baju sampai berhari-hari, karena harus menyambi banyak pekerjaan rumah tangga lainnya.
Selain membuat baju baru untuk anak-anaknya berlebaran, ibu saya juga membuat kue-kue lebaran sendiri. Yang dibuat biasanya kue semacam lapis legit dan kue kering yang dipanggang di sebuah “oven” kuno yang diatasnya diberi arang panas agar kue matang merata bawah dan atasnya. Karena saat itu belum ada “blender” maka tugas anak-anak mengocok adonan telur dan tepung dalam sebuah baskom dengan menggunakan pengocok adonan yang berbentuk seperti “pegas” yang dibuat agar dapat lentur.
Yang menyenangkan adalah saat melihat ibu mencetak kue keringnya dengan cetakan kue. Sesekali anak-anak diberi kesempatan mencoba juga mencetak kue. Ada pola-pola bintang, segi empat dan lingkaran seperti pada umumnya kue kering yang kita kenal sampai dengan saat ini.
Di saat ibu kecewa bila kue nya gosong atau agak coklat gelap warnanya karena terlambat diangkat, saya dan kakak saya justru gembira, karena kue itu menjadi jatah anak-anak untuk dimakan. Kue gosong disisihkan , tidak dimasukkan kedalam “toples’ yang disiapkan untuk hari lebaran.
Untuk persiapan lebaran, selain membuat baju dan kue , ibu saya selalu menyiapkan sendiri ketupat, opor ayam, rendang dan juga membikin sendiri “kacang bawang”. Ritual ini sudah menjadi kegiatan rutin dan anak-anak sudah memperoleh “porsi” sendiri untuk kegiatan masing-masing.
Kegiatan yang dengan senang hati dilakukan , tentu saja karena merupakan kegiatan dalam mengisi liburan 40 hari. Daun pembuat ketupat, ibu membeli sendiri ke pasar Petojo dan sampai di rumah menjadi tugas anak-anak mengisi beras ke dalam daun ketupat setelah dibersihkan.
Saya masih ingat takarannya adalah sepertiga sampai mendekati setengah dari isi daun ketupat. Saya sudah lupa, apakah yang dibeli itu daun bahan pembuat ketupat atau sudah jadi atau dalam bentuk ketupat.
Yang masih jelas dalam ingatan saya adalah ibu saya pandai membuat kelongsong ketupat dari daun kelapa dengan merajutnya sendiri. Ibu saya pernah mengajarkan saya dan kakak saya namun saya tidak pernah bisa melakukannya sampai selesai, separuh jalan dan ketupat biasanya rusak berantakan.