Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR Diminta Ikuti Putusan MK soal Anggota Dewan Harus Mudur jika Maju Pilkada

Kompas.com - 31/05/2016, 11:33 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan bahwa anggota Dewan yang ingin berpartisipasi dalam Pilkada harus mengikuti aturan yang berlaku.

Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

"Kalau dalam perspektif tata negara, seharusnya mengacu ke putusan MK," kata Hamdi saat dihubungi, Selasa (31/5/2016).

"Kalau ada perbedaan pendapat dalam menerjemahkan peraturan, perbedaan tafsir tentang undang-undang, maka rujukan paling utama itu kan MK," tambah dia.

(baca: Anggota DPR Hanya Mau Enak, Bersedia Mundur kalau Menang Pilkada)

Hamdi mengatakan, putusan MK sudah semestinya diikuti karena MK merupakan lembaga penegak hukum konstitusional tertinggi.

"MK dalam memutuskan pasti sudah mempertimbangkan semua sudut. Makanya dihormati saja putusan MK," kata dia.

Di sisi lain, lanjut Hamdi, MK juga harus bersikap konsisten terkait revisi undang-undang tersebut.

(baca: Anggota DPR Mau Mundur Saat Ikut Pilkada jika Petahana Juga Mundur)

"Katakanlah itu berhasil dalam proses politiknya disetujui mayoritas Dewan dan bisa juga di lobi di pemerintah. Kemudian diundang-undangkan. Setelah itu, sehari kemudian, saya sebagai masyarakat sipil atau pun siapa pun mengajukan gugatan ke MK. Kalau MK konsisten dengan sikapnya, itu dia kabulkan, artinya pasal itu tidak berlaku juga," kata Hamdi.

Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman sebelumnya mengatakan, DPR dan pemerintah belum menyepakati aturan anggota Dewan yang ingin maju dalam Pilkada. Hal itu terkait apakah harus mundur atau cukup cuti.

(baca: Komisi II: DPR-Pemerintah Belum Sepakat soal Aturan Anggota DPR Mundur jika Maju Pilkada)

Pemerintah tetap mengusulkan anggota Dewan harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah. (Baca: Mendagri: Anggota DPR, DPD, dan DPRD Harus Mundur jika Maju pada Pilkada)

Rambe menjelaskan, fraksi-fraksi masih berbeda pendapat, ada yang menyatakan apa pun keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.

Pendapat fraksi lain, menurut dia, ada yang mengusulkan agar tidak melanggar putusan MK, diusulkan anggota DPR yang menduduki jabatan di alat kelengkapan dewan harus mundur.

Anggota Komisi II DPR Hetifah Sjafudian mengatakan, putusan MK masih dapat berubah jika kembali diajukan uji materi.

Putusan MK, kata dia, pada dasarnya juga mempertimbangkan perkembangan situasi logis yang ada saat itu.

Dalam putusannya, MK sebelumnya mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya.

(baca: Pasca-putusan MK, Anggota Dewan Tak Bisa Coba-coba Ikut Pilkada)

Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.

MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara.

Bunyi pasal tersebut adalah, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota DPR, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota DPRD."

MK menilai bahwa kewajiban mengundurkan diri dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti yang dikenakan pada pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, serta pejabat dan pegawai BUMN/BUMD, juga seharusnya berlaku bagi legislator yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Kompas TV Presiden: RUU Pilkada Harus Segera Disepakati
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Nasional
Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Nasional
Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Nasional
Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Nasional
Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Nasional
Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem 'Back Up' Data Cepat

Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem "Back Up" Data Cepat

Nasional
Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Nasional
4 Bandar Judi 'Online' Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

4 Bandar Judi "Online" Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

Nasional
Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Nasional
Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com