Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Penghinaan Presiden Jadikan Presiden Layaknya Raja Tanpa Kritik

Kompas.com - 26/05/2016, 10:02 WIB
Ayu Rachmaningtyas

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikritik.

Pasal itu diangap sebagai pembatasan kebebasan berekspresi yang melawan konstitusi Indonesia saat ini. Hal tersebut dikatakan oleh Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/5/2016).

Menurut Wahyudi, pasal penghinaan presiden perlu dihapus karena tidak sejalan dengan sistem demokrasi yang ada.

"Dihapus saja. Kalau tidak, Ini sama saja menempatkan Presiden sama dengan raja yang tidak bisa dikritik," kata Wahyudi.

(Baca: Ingin Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi, Jaksa Agung Jelaskan ke DPR)

Menurut dia, Presiden Indonesia adalah seorang kepala pemerintahan yang layak dan perlu dikritik. Kritik menjadi bentuk kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

MK pun telah membatalkan pasal penghinaan presiden. Dalam putusannya, MK mengingatkan untuk tidak menghidupkan kembali aturan tersebut.

"Jadi mestinya DPR dan pemerintah mematuhi putusan itu. Karena bagaimana pun MK (Mahkamah Konstitusi) adalah penafsir resmi konstitusi Indonesia hari ini," ujar dia.

Menurut dia, saat ini paradigma kolonialistik masih tertanam kuat dalam penyusunan rancangan tersebut. Padahal, semangat untuk merevisi KUHP  bertujuan agar Indonesia dapat keluar dari warisan kolonialisme.

(Baca: Relawan Jokowi Setuju Pasal Penghinaan Presiden asal Tak Karet)

Kasus-kasus penghinaan presiden juga tidak pernah muncul lagi pasca MK membatalkan pasal tersebut.

"Artinya tanpa pasal itu pun martabat Presiden sebagai kepala negara masih bisa dijaga," kata dia.

Di dalam Pasal 264 RUU KUHP tertulis, "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidanan dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak katagori IV" .

Ruang lingkup penghinaan presiden pun diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264. Mereka yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar,hingga memperdengarkan rekaman berisi Presiden atau Wakil Presiden juga bisa dijerat dengan pasal itu.

Pada tahun 2015, MK memutuskan bahwa pasal 134, 136, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com