JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, kondisi darurat kekerasan seksual telah disampaikan sejak 2012.
Hal ini terjadi karena selalu ada peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual setiap tahunnya.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengungkapkan, kondisi saat ini karena buruknya penanganan korban untuk mendapatkan akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Sistem hukum saat ini, kata dia, dinilai tidak mampu memberikan keadilan bagi korban, tidak menjerakan pelaku, dan tidak menjamin kasus serupa tidak berulang.
Berdasarkan data mitra Komnas Perempuan dari Forum Pengadalayanan, kasus kekerasan seksual yang dapat diproses hingga persidangan rata-rata hanya mencapai 10 persen.
Oleh karena itu, Azriana menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan korban serta pelaksanaan kewajiban negara dalam menghapuskan kekerasan seksual.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai terobosan, harus jadi prioritas Negara," ujar Azriana, melalui keterangan tertulis, Rabu (11/5/2016).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, ada beberapa poin penting yang juga menjadi alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan.
RUU PKS mengatur lebih detil mengenai bentuk-bentuk kasus kekerasan seksual seperti, pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.
Dari sisi penghukuman, RUU PKS mengadopsi bentuk pemidanaan yang beragam dan memiliki gradasi dari setiap bentuk kekerasan seksual, meliputi pemasyarakatan, rehabilitasi terhadap pelaku di bawah umur, dan restitusi terhadap korban yang dibebankan kepada pelaku atau negara.
"RUU PKS memilki prinsip penghukuman yang mendidik, menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat, juga memenuhi rasa keadilan korban," kata dia.
RUU PKS juga bersandar pada hak korban yang meliputi mekanisme pencegahan, penanganan, perlindungan pengadilan dan pemulihan secara komprehensif.
Misalnya, dari sisi penanganan, RUU PKS mencantumkan adanya pendampingan psikis, hukum, ekonomi dan sosial.
Selain itu, perubahan dalam hukum acara memudahkan dan memberikan akses keadilan bagi korban dengan mengindentifikasi kebutuhan korban sejak pelaporan.
Korban juga dilindungi oleh sistem pelayanan yang terkoordinasi di tingkat medis, psikis, dan hukum.
Sistem ini mewajibkan aparat penegak hukum mengindentifikasi kebutuhan dan memenuhi hak-hak korban.
"RUU PKS sangat berkepentingan melindungi korban, dimana peraturan pidana lainnya tidak mengatur mengenai hak dan kepentingan korban kekerasan seksual. Terlebih perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang paling rentan mengalaminya," kata Azriana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.