Tidak lagi mencekam
Dari beragam tuntutan untuk perbaikan kesejahteraan, salah satu yang tidak pernah absen diteriakkan para buruh saat demonstrasi adalah penetapan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional.
Di awal-awal pemerintahannya, tuntutan Hari Buruh Internasional sebagai hari libur tidak dikabulkan. Pertimbangannya sederhana ketika itu, 15 hari libur nasional dalam satu tahun sudah terlalu banyak untuk negara yang tidak terlalu produktif.
Akan tetapi, melihat perkembangan dan ketegangan yang selalu terjadi menjelang 1 Mei, tuntutan para buruh soal hari libur nasional kemudian dipertimbangkan. Melihat pengalaman sebelumnya, setiap 1 Mei, aktivitas produksi di banyak pabrik terganggu karena para buruhnya berunjuk rasa atau dipaksa berunjuk rasa. Libur sejatinya sudah terjadi meskipun tidak resmi.
Menjelang akhir periode kedua pemerintahannya, SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional. Peraturan Pemerintah dikeluarkan pada 29 Juli 2013 dan berlaku di tahun terakhir pemerintahan SBY, 1 Mei 2014.
Peraturan yang ditandatangani SBY ini mengembalikan wacana buruh yang dikonotasikan sebagai gerakan kiri dan dipinggirkan selama orde baru ke tengah. Mendapat tempat yang pantas membuat peringatan 1 Mei 2014 dan setelahnya tidak lagi mencekam.
Unjuk rasa ribuan buruh tetap dilakukan di Hari Buruh Internasional. Namun, karena dilakukan di hari libur, gangguan yang kerap menghadirkan suasana mencekam bagi pihak lain jauh berkurang. Acara-acara kreatif justru kerap dilakukan.
Di Kabupaten Semarang misalnya. Ratusan buruh memilih merayakan Hari Buruh Internasional 2016 dengan aksi bersih-bersih Rawapening di Dermaga Sumurup, Desa Asinan, Bawen, Minggu (1/5/2016). Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Farmasi Kesehatan (FSP Farkes) Reformasi, berkubang lumpur mengangkat eceng gondok dari danau Rawapening.
Jinak sementara
Menjelang dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah melintasi dua kali peringatan Hari Buruh Internasional, gangguan karena demonstrasi buruh tidak banyak terdengar. Untuk berkurangnya gaduh dan gangguan ini, terima kasih kepada Presiden SBY yang menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional layak disampaikan. Libur ternyata menjadi sarana jitu untuk menjinakkan kegaduhan.
Namun, apakah dengan berkurangnya gaduh di Hari Buruh Internasional kesejahteraan para buruh telah mengalami perbaikan? Jawabannya iya dan tidak.
Iya jika kita melihat atribut dan kendaraan yang ditunggangi sejumlah buruh saat berdemonstrasi dan memunculkan sinisme mereka yang mapan dan merasa terganggu.
Tidak jika kita melihat pada laju kenaikan kesejehteraan tidak seimbang yang memunculkan ketimpangan dan pengalaman ketidakadilan. Betul bahwa buruh sebagai representasi orang miskin mengalami kenaikan kesejahteraan. Namun, kenaikan kesejahtaraan kelompok lain sebagai representasi orang kaya jauh lebih tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks koefisien gini Indonesia berada di posisi 0,40 pada September 2015. Meskipun turun 0,01 dibandingkan Maret 2015, angka ini masih mengkhawatirkan. Sebagai gambaran, koefieisn gini Indonesia tahun 2000 ada di posisi 0,30.
Data ini secara sederhana dapat diartikan begini: sekitar 1 persen orang Indonesia menguasai 40 persen kekayaan nasional pada 2015. Kondisi ini meningkat tajam karena tahun 2000, sekitar 1 persen orang Indonesia itu hanya menguasai 30 persen kekayaan nasional.
Kondisi ketimpangan yang melebar seperti ini pasti bukan gambaran kejinakan. Tanpa campur tangan negara untuk meredistribusi kekayaan dari tangan 1 persen orang Indonesia itu kepada 99 persen orang Indonesia lainnya, melebarnya ketimpangan akan menjadi seperti api di dalam sekam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.