Dua periode penuh menjadi Presiden Republik Indonesia adalah catatan sejarah bagi Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum SBY yang pertama dipilih secara langsung dalam pemilihan umum demokratis, lima Presiden RI tidak penuh mengisi periode kepemimpinannya.
Namun, dua periode kepemimpinan Presiden RI ke-6 yang diawali pada 20 Oktober 2004 dan berakhir pada 20 Oktober 2014 ini bukan tanpa gejolak dan gangguan. Banyak kegaduhan politik yang terjadi selama 10 tahun. Gejolak dan gangguan itu kerap disinyalir sebagai upaya mengganggu pemerintah.
Di beberapa kesempatan, SBY memberi peringatan kepada para pemimpin politik yang memiliki massa untuk mengurungkan niat mengganggu pemerintah yang tengah berkuasa yaitu dirinya. Sejumlah pesan baik tersirat maupun tersurat dikemukakan SBY melalui media ketika kegaduhan yang berpotensi pada gangguan mulai tercium.
Untuk rencana mogok nasional yang tercium sebagai upaya gangguan kepada pemerintah, SBY menduga ada pihak-pihak yang memiliki pikiran lain dengan pikiran pemerintah yang tengah mengemban amanah. Kepada mereka, SBY minta pengertian agar tidak membuat kacau negara dan membuat susah rakyatnya.
Salah satu kegaduhan yang berpotensi menimbulkan kekacauan adalah isu buruh. Isu ini selalu mengemuka setidaknya dua tahun sekali. Pertama, menjelang penetapan upah minimum di akhir tahun. Kedua, menjelang peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, 1 Mei.
Isu sentral untuk kedua kesempatan itu selalu sama: tuntutan perbaikan kesejahteraan. Sejumlah variasi rincian diteriakkan.
Istana selalu kosong
Tidak mudah menghadapi tuntutan buruh ini. Pemerintah diharapkan berlaku adil dengan berdiri di tengah di antara buruh dan pengusaha. Terlebih kerap muncul stigma, penguasa dan penguaha kerap main mata.
Di tengah upaya untuk bisa adil ini, adanya sejumlah pihak yang menggunakan isu buruh untuk kepentingan politik membuat pemerintah tidak bisa tenang.
Karena alasan ini, saat demonstrasi buruh dilakukan di Jakarta dengan tujuan akhir Istana Merdeka, Presiden SBY hampir selalu tidak ada di Istana. Istana suwung atau kosong. Di hari-hari demonstrasi itu, Presiden SBY selalu punya kegiatan di luar Istana yang sudah terencana.
Namun, membiarkan istana suwung tidak berarti SBY tidak peduli. Saat demonstrasi besar di Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2006, SBY yang tengah dalam kunjungan 10 hari ke sejumlah negara di kawasan Timur Tengah tetap memantau. Demonstrasi yang diwarnai gangguan atas kepentingan umum dicermati SBY dari Yordania dan langsung ditanggapi.
Meskipun selalu memberi tanggapan atas tuntutan, demonstrasi buruh tidak pernah surut. Masuk akal, lantaran tuntutan perbaikan kesejahteraan buruh tidak sepenuhnya dikabulkan. Pada saat bersamaan, standar hidup layak dan beragam kebutuhan dasar mengalami kenaikan.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, membiarkan istana kosong saat massa buruh berdatangan meneriakkan tuntutan kerap dijadikan pilihan. Namun, SBY tidak benar-benar meninggalkan buruh sejatinya.
Ia hanya tidak sepakat dengan cara-cara buruh menyampaikan tuntutan. Pernah suatu kali, SBY minta Kepala Polri untuk melarang penggunaan pengeras suara oleh pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka.
Tidak lagi mencekam
Dari beragam tuntutan untuk perbaikan kesejahteraan, salah satu yang tidak pernah absen diteriakkan para buruh saat demonstrasi adalah penetapan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional.
Di awal-awal pemerintahannya, tuntutan Hari Buruh Internasional sebagai hari libur tidak dikabulkan. Pertimbangannya sederhana ketika itu, 15 hari libur nasional dalam satu tahun sudah terlalu banyak untuk negara yang tidak terlalu produktif.
Akan tetapi, melihat perkembangan dan ketegangan yang selalu terjadi menjelang 1 Mei, tuntutan para buruh soal hari libur nasional kemudian dipertimbangkan. Melihat pengalaman sebelumnya, setiap 1 Mei, aktivitas produksi di banyak pabrik terganggu karena para buruhnya berunjuk rasa atau dipaksa berunjuk rasa. Libur sejatinya sudah terjadi meskipun tidak resmi.
Menjelang akhir periode kedua pemerintahannya, SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional. Peraturan Pemerintah dikeluarkan pada 29 Juli 2013 dan berlaku di tahun terakhir pemerintahan SBY, 1 Mei 2014.
Peraturan yang ditandatangani SBY ini mengembalikan wacana buruh yang dikonotasikan sebagai gerakan kiri dan dipinggirkan selama orde baru ke tengah. Mendapat tempat yang pantas membuat peringatan 1 Mei 2014 dan setelahnya tidak lagi mencekam.
Unjuk rasa ribuan buruh tetap dilakukan di Hari Buruh Internasional. Namun, karena dilakukan di hari libur, gangguan yang kerap menghadirkan suasana mencekam bagi pihak lain jauh berkurang. Acara-acara kreatif justru kerap dilakukan.
Di Kabupaten Semarang misalnya. Ratusan buruh memilih merayakan Hari Buruh Internasional 2016 dengan aksi bersih-bersih Rawapening di Dermaga Sumurup, Desa Asinan, Bawen, Minggu (1/5/2016). Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Farmasi Kesehatan (FSP Farkes) Reformasi, berkubang lumpur mengangkat eceng gondok dari danau Rawapening.
Jinak sementara
Menjelang dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah melintasi dua kali peringatan Hari Buruh Internasional, gangguan karena demonstrasi buruh tidak banyak terdengar. Untuk berkurangnya gaduh dan gangguan ini, terima kasih kepada Presiden SBY yang menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional layak disampaikan. Libur ternyata menjadi sarana jitu untuk menjinakkan kegaduhan.
Iya jika kita melihat atribut dan kendaraan yang ditunggangi sejumlah buruh saat berdemonstrasi dan memunculkan sinisme mereka yang mapan dan merasa terganggu.
Tidak jika kita melihat pada laju kenaikan kesejehteraan tidak seimbang yang memunculkan ketimpangan dan pengalaman ketidakadilan. Betul bahwa buruh sebagai representasi orang miskin mengalami kenaikan kesejahteraan. Namun, kenaikan kesejahtaraan kelompok lain sebagai representasi orang kaya jauh lebih tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks koefisien gini Indonesia berada di posisi 0,40 pada September 2015. Meskipun turun 0,01 dibandingkan Maret 2015, angka ini masih mengkhawatirkan. Sebagai gambaran, koefieisn gini Indonesia tahun 2000 ada di posisi 0,30.
Data ini secara sederhana dapat diartikan begini: sekitar 1 persen orang Indonesia menguasai 40 persen kekayaan nasional pada 2015. Kondisi ini meningkat tajam karena tahun 2000, sekitar 1 persen orang Indonesia itu hanya menguasai 30 persen kekayaan nasional.
Kondisi ketimpangan yang melebar seperti ini pasti bukan gambaran kejinakan. Tanpa campur tangan negara untuk meredistribusi kekayaan dari tangan 1 persen orang Indonesia itu kepada 99 persen orang Indonesia lainnya, melebarnya ketimpangan akan menjadi seperti api di dalam sekam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.