Pada 1973, Partai NU bergabung dengan partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah.
Pada Muktamar 1984, NU menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP. Maka, di berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.
Hanya 14 tahun NU mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa ikut dalam Pemilu 1999, lima tokoh PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga NU.
PKB berhasil mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah masyarakat sipil menuju ranah politik.
Kini timbul kesan kuat bahwa NU meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU dan organisasi di bawah NU.
Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme amat terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.
Perlu dirawat
Organisasi NU didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU pernah diejek sebagai kelompok sarungan, "teklekan", dan dianggap oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman.
Kini banyak kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan, termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU dengan memakai sarung.
Bersama Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi dan komunitas yang dianggap sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa.
Tentu itu harus disyukuri dengan merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing bisa menerapkan apa yang diperolehnya di pesantren.
Berarti para santri harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.
Untuk bisa berperan menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi NU harus baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin.
Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU masa lalu, terutama saat NU belum menjadi partai politik, karena NU kini bukan partai politik.
Petinggi NU harus bisa menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis perlu segera ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi manfaat bagi NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU.
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng