Dalam Muktamar 1938 di Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai "dar-al Islam", artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk Muslim dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang juga Muslim.
Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.
Walaupun sudah menerima Hindia Belanda sebagai "dar al Islam", dalam persidangan BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan "Piagam Jakarta".
Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.
Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia Timur terhadap "tujuh kata Piagam Jakarta" itu.
Menghadapi pilihan sulit itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam meneruskan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pemungutan suara, dasar negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan dasar negara Islam meraih 43 persen.
Karena Konstituante mengalami jalan buntu, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan Piagam Jakarta menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.
PBNU membentuk tim yang diketuai oleh KH Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang "Hubungan Islam dengan Pancasila". Pada Desember 1983, naskah tersebut dipaparkan Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU.
Walaupun amat sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.
NU dan partai politik
Pada 1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Majelis Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi.
Tokoh-tokoh NU adalah lulusan pesantren dan tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas. Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.
Dalam Pemilu 1971, Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah.
Tak heran jika banyak juru kampanye NU diturunkan pihak keamanan dari podium kampanye. Aktivis NU di Departemen Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU. Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.