Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/12/2015, 16:00 WIB

Masih perlukah fungsi dan kewenangan "mengawasi" serta bahkan "mengambil alih" penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan kepolisian dan kejaksaan (Pasal 8 UU KPK)?

Lahir dengan kewenangan pencegahan, menyelidik, menyidik, dan menuntut saja sebenarnya sudah sama dengan kewenangan kepolisian dan kejaksaan jika digabung sekaligus. Itu saja sudah hebat bukan?

Lantas untuk apa sesungguhnya pemberian tugas, fungsi, dan kewenangan seperti yang ada dalam Pasal 7 dan 8 tadi?

Jauh dari sekadar perumusan atau alasan kepraktisan, tetapi rasanya perlu dicermati adanya soal-soal yang lebih "makan hati" di balik rumusan kedua pasal.

Faktor psikologis yang melekat pada darah dan jiwa korps kepolisian dan kejaksaan, instansi yang berusia setua republik ini, mungkin bergejolak ketika tiba-tiba harus menerima keputusan politik yang degrading dan bahkan disgracing martabat dan kebanggaan.

Berdasar Pasal 7 dan 8 UU KPK, mereka harus tunduk pada koordinasi KPK. Mereka bahkan harus menyerahkan penanganan kasus korupsi yang sedang mereka proses saat KPK menghendaki.

Beranikah kita membuka mata hati bahwa kondisi itu yang bukan tak mungkin menimbulkan ekses dalam sikap dan cara pandang warga korps kedua instansi tadi? Sekam ketidaksenangan serasa ditumbuhkan.

Masyarakat kita menyimpan memori kolektif bagaimana gesekan atau benturan antarinstansi telah terjadi, dan jangan-jangan, atau sesungguhnya, berpangkal karena ketersinggungan kehormatan dan kebanggaan profesi.

Sebaliknya, kalaupun ditaruh tes yang dibalik, di manakah ruginya kalau rumusan tugas, fungsi, dan kewenangan yang rasanya tidak perlu tadi ditiadakan saja?

KPK pun tidak menjadi lemah karena itu. Biarkan ketiganya berkompetisi dalam memberantas korupsi. Mana yang kurang, mana yang lemah, akhirnya masyarakat dengan dukungan media yang kini sudah demikian bebas akan mengetahui dan menilainya.

Kewenangan untuk melakukan penyadapan, sekalipun dalam bingkai fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, juga memerlukan penambahan aturan main yang baik. Bukan menghapus, melainkan memperbaiki.

Banyak argumentasi yang mengkhawatirkan pembatasan atas kewenangan di bidang itu akan menyebabkan lambatnya penanganan korupsi. Mestinya soal ini juga ditimbang dalam spektrum lebih luas dan imbang. Secara konseptual, tindak penyadapan bertaut dengan hak dasar manusia yang dijamin UUD.

Karena itu, sungguh bagus apabila untuk isu yang penting dan sangat mendasar ini, Komnas HAM dapat diminta menyampaikan pandangannya. Pagar untuk kewenangan ini sebaiknya ada, dan tak baik kalau terus dibiarkan open ended.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Nasional
Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem 'Back Up' Data Cepat

Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem "Back Up" Data Cepat

Nasional
Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Nasional
4 Bandar Judi 'Online' Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

4 Bandar Judi "Online" Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

Nasional
Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Nasional
Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Nasional
Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk 'Back Up' Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk "Back Up" Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Nasional
Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Nasional
Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Nasional
Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Nasional
Adian Sebut PDI-P Siap jika Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilkada 2024

Adian Sebut PDI-P Siap jika Jokowi "Cawe-cawe" di Pilkada 2024

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Kembalikan Uang Rp 600 Juta

KPK Sebut Keluarga SYL Kembalikan Uang Rp 600 Juta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com