Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika MKD "Masuk Angin", Politisi Nasdem Ini Usulkan Pansus Freeport

Kompas.com - 20/11/2015, 17:47 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi, mengusulkan pembentukan panitia khusus untuk mengusut kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto.

Usul itu akan ditindaklanjuti jika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak menjatuhkan sanksi tegas terhadap Novanto.

"Kami ingin mendorong pansus Freeport apabila tidak diproses sebagaimana diharapkan," kata Taufiq saat memberikan keterangan di Kompleks Parlemen, Jumat (20/11/2015).

Novanto sebelumnya dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke MKD lantaran diduga meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi renegoisasi kontrak Freeport.

Hal itu diduga disampaikan Novanto saat bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. (Baca: MKD Bisa Gelar Sidang Terbuka Kasus Setya Novanto, Ini Argumentasinya )

Taufiq mengatakan, bukan kali ini saja Novanto dituding melakukan pelanggaran kode etik.

Dalam pertemuan dengan dengan bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Novanto juga sempat dituduh melakukan pelanggaran kode etik. Namun, MKD dianggap tak serius dalam menangani kasus tersebut.

"MKD jangan bermain-main seperti yang dilakukan sebelumnya. Walaupun Ketua enggak hadir, tetap (divonis melakukan) pelanggaran ringan," ujarnya. (Baca: Setya Novanto: Saya Tak Pernah Akui Rekaman Itu Suara Saya)

Menurut Taufiq, dengan terulangnya kasus dugaan pelanggaran kode etik, Novanto seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

"Kalau enggak mengundurkan diri, paling tidak MKD mengeluarkan rekomendasi (sanksi) paling berat," ujarnya. (Baca: Soal Desakan Pecat Novanto, Aburizal Sebut Menggulingkan Orang Itu Dosa)

Untuk diketahui, ada tiga klasifikasi sanksi yang dapat dijatuhkan jika seorang anggota DPR terbukti melakukan pelanggaran kode etik, yaitu sanksi ringan, sedang, dan berat.

Sanksi ringan ialah berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Sanksi sedang ialah berupa pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan Dewan atau pemberhentian jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan Dewan dan diumumkan kepada publik.

Sementara itu, sanksi berat ialah pemberhentian sementara paling singkat tiga bulan atau pemberhentian sebagai anggota. Pengaturan sanksi itu terdapat pada Pasal 63 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Nasional
Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem 'Back Up' Data Cepat

Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem "Back Up" Data Cepat

Nasional
Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Nasional
4 Bandar Judi 'Online' Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

4 Bandar Judi "Online" Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

Nasional
Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Nasional
Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Nasional
Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk 'Back Up' Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk "Back Up" Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Nasional
Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Disebut Tamak, SYL Klaim Selalu Minta Anak Buah Ikuti Aturan

Nasional
Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Bantah Hasto Menghilang Usai Diperiksa KPK, Adian Pastikan Masih Berada di Jakarta

Nasional
Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Dirjen Imigrasi Enggan Salahkan Siapapun Soal Peretasan: Sesama Bus Kota Enggak Boleh Saling Menyalip

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com