"Betul, pukul 06.00 WIB, kami melaksanakan tahap dua tersangka Pentus ke Kejati Jawa Barat," ujar Kepala Subdirektorat II Tipikor Bareskrim Polri Kombes (Pol) Djoko Purwanto melalui pesan singkat, Selasa pagi.
"Setelah kami melaksanakan tahap dua. Dia (AKBP Pentus) sudah menjadi tanggung jawab kejaksaan dan tinggal menunggu waktu sidang saja," lanjut Djoko.
Pelaksanaan tahap dua perkara Pentus itu sendiri setelah Kejaksaan Agung menyatakan berkasnya lengkap alias P21 pada pekan lalu.
Sebelumnya, berkas perkara kasus ini sempat dikembalikan kejaksaan karena belum lengkap. Dengan dilaksanakannya tahap dua, pihaknya berkomitmen untuk mengusut pekara ini hingga tuntas.
Rencananya, penyidik bakal mengeluarkan surat perintah penyelidikan baru untuk mengusut pelaku pemerasan lain selain Pentus.
"Nanti saja dilihat. Yang jelas ada unsur Pasal 55 KUHP di dalam sangkaan Pentus. Artinya ada peran serta yang lain juga," ujar dia.
Kronologi
Pentus adalah mantan Kepala Tim III Subdirektorat IV Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri. Pada 27 Februari 2015 pukul 10.00 WIB, Pentus bertolak dari kantornya di Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri, Cawang, Jakarta Timur ke Bandung.
Dia dan anak buahnya, yakni Kompol S, Aiptu AH, Bripka G, Brigadir KH serta seorang informan berinisial S alias Po hendak menindaklanjuti laporan soal adanya peredaran narkotika di Fix Boutiqe Karaoke, Jalan Banceuy, Nomor 8, Bandung.
Pada malam harinya, Pentus beserta timnya menangkap wanita berinisial HT di tempat karaoke itu. Dia diduga menjual ekstasi di sana. Di sakunya, tim menemukan 10 butir ekstasi siap jual. Ketika diperiksa, HT menunjuk pria berinisial JK sebagai bos peredaran ekstasi di tempat itu. JK merupakan pemilik tempat karaoke. PN dan timnya pun meringkus keduanya.
Malam itu, Pentus membagi timnya menjadi dua. Tim pertama membawa HT dan JK ke salah satu hotel untuk diinterogasi. Tim kedua ditugaskan menggeledah rumah JK. PN sendiri memimpin penggeledahan itu.
Di rumah JK, Pentus menemukan barang bukti sabu seberat lima kilogram. Mereka lalu kembali ke hotel untuk bergabung memeriksa HT dan JK. Di hotel, pemeriksaan dilakukan sepanjang malam hingga Sabtu 28 Februari 2015 siang hari.
Selain ditanya soal asal usul barang bukti sabu, Pentus menawarkan JK 'berdamai'. Lewat perantara anak buah berinisial KH, Pentus berjanji tidak mengusut lagi perkara dan akan melepaskannya jika JK memberikan 'uang pelicin'. Namun, karena tak mencapai kata sepakat, JK dan HT tetap dibawa ke Jakarta untuk diproses secara hukum.
Pada perjalanan pulang, JK menelepon rekannya berinisial RJW untuk meminta bantuan. RJW kemudian berkomunikasi dengan PN dan janji bertemu di salah satu restoran di bilangan Cikarang. Pertemuan itu pun terjadi. Kepada Pentus, RJW bersedia memberikan uang sebesar Rp 2 miliar agar Pentus melepas kawannya.
Pentus sempat menolak dengan alasan barang bukti yang ditemukan banyak (lima kilogram sabu). Dia meminta uang Rp 5 miliar untuk menyelesaikan persoalan itu. Negosiasi kembali terjadi. Akhirnya, JK menyanggupi nilai uang sebesar Rp 3 miliar agar Pentus tak menangkapnya.
JK lalu menghubungi rekan sesama pengusaha berinisial AFR dan DS untuk menyiapkan uang itu. Karena mendadak, mereka tidak dapat memenuhinya. Mereka pun mengganti uang itu dengan bentuk lain yang nilainya kurang lebih sama, yakni USD 80.000 dan empat kilogram emas. 'Uang pelicin' itu diantarkan pada waktu dan tempat yang sama, yakni di restoran.
Uang itu diantar informan Pentus berinisial S alias Po. JK dan HT pun dilepas. Perkara mereka tidak diusut lagi. Pentus dan tim lalu kembali ke Jakarta dan membagi-bagikannya kepada tim pada malam harinya sekitar pukul 23.30 WIB di kantor.
Kompol S, Aiptu AH, Bripka G dan Brigadir KH masing-masing mendapatkan jatah 100 gram emas dan uang USD 10.000. Informan Pentus sekaligus kurir berinisial S alias Po mendapat bagian yang sama. Sisanya, dipegang oleh Pentus sendiri.
Tindakan Pentus dan tim tercium Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri, April 2015. Kepala divisi saat itu, yakni Irjen Sjafruddin memerintahkan personelnya untuk menangkap dan memeriksa Pentus. Personel Propam Polri memutuskan PN diberikan sanksi kode etik dan pidana umum. Artinya, PN menjalani pemeriksaan kode etik di Propam Polri, sementara berkas perkaranya juga dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
Surat perintah penyidikan perkara Pentus di Tipidkor terbit tanggal 8 Juni 2015. Sprindik itu bernomor Sprin.Sidik/123.a/VI/2015/Tipidkor. Sejak saat itu, PN dicopot dari jabatannya.
Pada 25 Juni 2015, penyidik Tipidkor menahan PN di rumah tahanan Bareskrim Polri. Ia dikenakan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain menahan, penyidik Tipidkor menyita sejumlah barang milik PN, antara lain uang senilai Rp 531.600.000, USD 15.000, 30 keping emas dengan berat total 3 kilogram, satu unit Toyota Fortuner hitam, tujuh unit ponsel dan berkas perkara tindak pidana narkotika di meja kerja PN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.