Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Menghina Presiden

Kompas.com - 14/08/2015, 15:00 WIB

Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan pencabutan atas pasal-pasal tersebut, penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden bisa menggunakan KUHP Pasal 310 (pencemaran terhadap orang biasa) dan Pasal 207 (pencemaran terhadap penguasa pada umumnya) yang hukumannya relatif ringan.

RUU menghidupkan

Menjadi wajar kalau banyak yang kaget ketika pemerintah memasukkan kembali di dalam RUU KUHP pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam RUU KUHP yang baru itu, seperti bisa dibaca dari Pasal 263 dan Pasal 264, tidak hanya memuat substansi yang sama dengan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi, lebih dari itu, memuat cakupan cara penghinaan yang lebih luas.

Kalau pada KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menyiarkan penghinaan hanya mencakup mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, di dalam RUU KUHP yang baru ini dimasukkan juga kegiatan "memperdengarkan rekaman". Tak terbantahkan, dalam pengertian yang demikian bisa termasuk penyiaran sebagai berita oleh media elektronik tentang terjadinya penghinaan kepada Presiden. Itulah sebabnya, banyak yang menilai upaya menghidupkan kembali pasal-pasal karet tersebut menjadi ancaman terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.

Sebenarnya penuangan kembali pasal-pasal itu semula bukan diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo, melainkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Maret 2013. Namun, karena RUU tersebut tak bisa dibahas pada era Presiden SBY, maka sesuai dengan mekanisme pembentukan UU, jika sebuah RUU tak bisa diselesaikan pada satu periode yang sama dengan pengajuannya, RUU tersebut harus diproses atau diajukan kembali oleh pemerintah yang baru. RUU era SBY itulah yang diajukan kembali oleh pemerintah sekarang ini.

Problem konstitusional

Problem konstitusional serius yang kemudian muncul dalam kaitan ini adalah adanya ketentuan menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, harus dilaksanakan tanpa bisa dilawan dengan upaya hukum. Bisakah UU menghidupkan lagi ketentuan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi? Bagaimana kalau, setelah ditetapkan, kelak dibatalkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi? Apa tidak sebaiknya pembentuk UU mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP baru?

Akan tetapi, pada sisi lain, kita juga tidak ingin ada orang yang seenaknya melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden atas nama demokrasi dan hak konstitusional. Kita geram saat melihat penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden secara sarkastis dan kotor.

Dilema antara putusan Mahkamah Konstitusi dan kebrutalan politik inilah yang harus kita diskusikan secara mendalam untuk menemukan jalan keluar.

Moh Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Hukum Menghina Presiden".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Nasional
Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Nasional
GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

Nasional
Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Nasional
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Nasional
PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

Nasional
Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Nasional
Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Nasional
Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Nasional
Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com