JAKARTA, KOMPAS - Pertengahan Juni 2015, Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap berseberangan dengan kehendak mayoritas kekuatan politik di DPR. Diawali dengan menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sikap Presiden berlanjut dengan menolak usulan dana aspirasi pembangunan daerah pemilihan.
Mengikuti perkembangan sejak dilantik sebagai presiden (20/10/2014), kedua sikap tersebut kontras dengan sebelumnya. Selain berani menyatakan "tidak" secara terbuka, Jokowi seperti mulai menemukan bagaimana memosisikan diri dalam desain sistem pemerintahan presidensial. Menurut Richard Neustadt (1960), posisi presiden merupakan episentrum di antara semua lembaga negara.
Redupnya posisi presiden dalam sistem presidensial, dapat dilacak dari sikap Jokowi menghadapi hantaman bertubi-tubi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam ujian untuk membuktikan dukungan ke KPK ini, Jokowi tidak memberikan respons memadai ("Enam Bulan yang Hambar", Kompas, 20/4).
Pasca menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK dibiarkan porak poranda. Jokowi tidak hanya gagal memaknai dan memenuhi janji penegakan hukum dalam Nawacita, tetapi juga seperti tidak memiliki imajinasi desain besar pemberantasan korupsi. Jika memang hendak mewujudkan Nawacita, harusnya semua langkah darurat diambil demi menyelamatkan KPK .
Di tengah keraguan, kini Jokowi menolak dua proposal yang diajukan DPR, yaitu revisi UU No 30/2002 dan dana aspirasi. Pertanyaannya kemudian: Inikah titik balik presiden dalam membangun pola relasi dengan DPR? Apakah sikap tersebut sekaligus menjadi titik balik Jokowi di tengah bangunan posisi presiden dalam sistem presidensial?
Rangkaian pertanyaan tersebut tidak hanya penting, tetapi juga menjadi titik pembuktian Jokowi. Meski kedua proposal DPR ditolak presiden, kekuatan politik di Senayan masih dalam posisi hendak meneruskan. Tak hanya itu, indikasi titik balik Jokowi juga menunggu bukti di tengah rencana perombakan kabinet.
Kemampuan bertahan
Kesepakatan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR (16/6) merugikan posisi Jokowi. Meskipun menegaskan bahwa usul revisi berasal dari DPR, pernyataan "pemerintah tidak dapat menolak usulan DPR" menjadi beban bagi Jokowi. Padahal, janji dalam Nawacita menyatakan akan mendukung penguatan institusi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan pendanaan.