JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih diperlukan. Oleh karena itu, Pemerintah mendorong agar TKI yang dikirimkan ke luar negeri nantinya hanya bekerja pada sektor formal.
"Memang kita ada rencana pada akhir 2018 untuk menghentikan TKI yang bekerja sebagai PRT, tapi TKI yang bekerja dalam hal formal tentu didorong, yang ingin dihentikan tentu itu pekerja yang bekerja sebagai PRT (pembantu rumah tangga), itu nantinya," kata Kalla di Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Pemerintah baru menghentikan penempatan TKI di 21 negara di Timur Tengah. Ke-21 negara itu adalah Aljazair,Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman, dan Yordania. (baca: Ini Pengaturan Pelarangan TKI ke Timur Tengah)
Menurut Wapres, dengan pertumbuhan ekonomi yang belum mencapai tujuh persen, Indonesia belum siap menghentikan sepenuhnya pengiriman TKI. Namun, ia optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai tujuh persen dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun.
Jika sudah mencapai target tujuh persen, pertumbuhan industri akan meningkat sehingga membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di dalam negeri. (baca: Kemenlu: Banyak TKI yang Kurang "Well Prepared")
"Kalau ekonomi kita seperti ini tentu masih dibutuhkan lapangan kerja di luar (negeri). Tapi kalau tujuh (persen), maka industri tumbuh, industri kreatif seperti ini terus tumbuh, maka lapangan kerja terbuka, ya tidak perlu lagi untuk PRT," ucap dia.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sebelumnya mengatakan, perlindungan bagi TKI di sektor domestik terutama di negara-negara Timur Tengah dinilai masih sangat kurang. Belum lagi soal budaya setempat yang mempersulit tindakan perlindungan tersebut.
Ia mengatakan, sistem 'kafalah' yang menyebabkan posisi tawar TKI lemah di hadapan majikan masih berlaku. Akibatnya, banyak TKI yang tak bisa pulang meskipun kontak kerjanya habis karena dilarang majikan, atau dipindahkan ke majikan lainnya.
Selain itu, standar gaji yang diberikan juga relatif rendah, yaitu berkisar Rp 2,7 juta - Rp 3 juta per bulan. Jumlah itu setara dengan UMP DKI yang Rp 2,7 juta per bulan dan lebih rendah dari UMSK Bekasi yang Rp 3,2 juta per bulan. Hal ini tidak sebanding dengan resiko meninggalkan negara dan keluarga untuk bekerja di luar negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.