Prerogatif Presiden
Putusan hakim Sarpin juga makin memojokkan posisi Jokowi. Tuntutan untuk melantik BG akan semakin deras dengan alasan sudah tidak menjadi tersangka lagi. Kubu yang menyatakan Presiden Jokowi melanggar konstitusi dan undang-undang apabila tidak melantik BG akan makin deras dan di atas angin.
Kendati begitu, saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat Prof Mahfud MD bahwa Jokowi tetap memiliki ruang untuk tidak melantik BG jika memang menginginkannya. Sesaat setelah putusan BG selesai dibacakan, mantan Ketua MK itu menelepon saya untuk menyatakan penyesalannya terkait putusan yang dibuat hakim Sarpin. Menurut Mahfud, seandainya Jokowi tetap tidak mau melantik BG, itu tidak menjadi soal karena Presiden tetap memiliki hak prerogatif.
Dalam konteks ini, saya berpendapat, pelantikan BG sebagai Kepala Polri mengandung tiga dimensi yang dapat diperhitungkan secara cermat oleh Jokowi, yaitu (i) hak BG, (ii) hak Presiden, dan (iii) hak publik. Putusan hakim Sarpin telah menaikkan posisi tawar hak BG dalam soal pelantikan, tetapi jangan lupa bahwa jabatan Kepala Polri adalah jabatan yang dipilih berdasarkan subyektivitas Presiden. Batasannya hanyalah persetujuan dari DPR. Presiden hanya dilarang untuk melantik calon yang tidak atau belum disetujui DPR.
Berbeda halnya dengan jabatan-jabatan publik yang pemilihannya tidak ditentukan sendiri oleh Presiden, seperti jabatan komisioner KPU atau KPK yang didasarkan hasil seleksi dari tim yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Demikian pula dengan jabatan-jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat. Terhadap yang demikian itu, Presiden tidak memiliki hak subyektif untuk tidak melantik.
Terhadap calon yang sudah disetujui DPR, Presiden masih mungkin untuk tidak melantik jika memiliki pertimbangan tertentu. Pertimbangan terhadap BG yang sah adalah bahwa putusan praperadilan tidak menghilangkan atau menghapuskan substansi akan kasus rekening gendut yang menerpa BG. Terlepas dari amputasi hakim Sarpin terhadap kewenangan KPK untuk menyidik kasus BG—karena BG dikualifikasikan bukan penegak hukum dan penyelenggara negara—secara substantif kasus yang melilit belum terkonfirmasi benar dan salahnya.
Hingga titik ini, hak publik penting untuk diperhatikan Presiden Jokowi. Dengan kewarasan dan hati nuraninya, publik pasti lebih menginginkan Kepala Polri yang tidak bermasalah dan tidak penuh kontroversi. Dengan kewarasannya pula, Presiden Jokowi tentu tetap menginginkan keberhasilan pemberantasan korupsi sesuai dengan Nawa Cita yang telah dijanjikan.
Pertanyaannya, melantik BG sebagai Kepala Polri apakah merupakan langkah untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang lebih baik? Sungguh, putusan hakim Sarpin bukan saja merupakan bentuk amputasi bagi KPK, melainkan ujian sulit bagi kepemimpinan Jokowi.
Refly Harun
Pengamat dan Pengajar Hukum Tata Negara