Selain itu, menurut Hifdzil, Budi termasuk sebagai seorang pejabat negara karena sudah eselon II. Oleh karena itu, ia menyayangkan penafsiran yang sempit dari Hakim Sarpin tentang definisi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
"Kalau seperti itu, Djoko Susilo bisa menggugat dengan praperadilannya BG. Anda (KPK) bukan penegak hukum, jadi tidak berhak menangkap saya," katanya.
Upaya paksa?
Putusan Hakim Sarpin yang juga dianggap janggal adalah penilaian bahwa penetapan tersangka Budi merupakan bagian dari upaya paksa KPK karena tidak didahului oleh serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Padahal, saksi fakta yang dihadirkan KPK, yakni penyelidik KPK Iguh Sipurba, mengatakan bahwa KPK mengacu pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam penyelidikan perkara korupsi Budi. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan, "Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK".
Adapun pada ayat (2) disebutkan, "Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik".
Iguh mengatakan, saat proses penyelidikan, pihaknya menjadikan beberapa hal sebagai barang bukti, yakni surat, keterangan saksi, dokumen, dan beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan dalam persidangan.
"Artinya, dalam hal dua alat bukti sudah ada kesesuaian satu sama lain. Meski tidak ada keterangan calon tersangka, hasil ekspose juga menunjukkan sudah cukup, tidak perlu kami mengumpulkan keterangan tersangka," lanjut dia.
Hasil ekspose perkara itu pun menunjukkan bahwa Budi Gunawan layak untuk disangka dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang KPK. Lagi pula, hingga ditetapkan sebagai tersangka, pihak KPK belum melakukan penangkapan atau penahanan terhadap Budi.
Pertimbangan lainnya dari hakim, penetapan Budi sebagai tersangka tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Hakim berpendapat, keresahan masyarakat muncul ketika Budi ditetapkan sebagai kepala Polri, kemudian baru ditetapkan sebagai tersangka.
Hakim Sarpin juga menyatakan bahwa surat perintah penetapan Budi sebagai tersangka tidak dapat dikaitkan dengan kerugian negara Rp 1 miliar yang menjadi kewenangan KPK, tetapi hanya sebatas penyalahgunaan wewenang.
Adapun gugatan praperadilan Budi yang ditolak adalah mengharuskan penyerahan seluruh berkas tersangka, termasuk laporan hasil analisis (LHA) Budi kepada penyidik asal, dalam hal ini Polri.
Selain itu, hakim juga menolak permintaan ganti rugi sebesar Rp 1 juta atas penetapan Budi sebagai tersangka.
Kasus Budi jalan terus
Menanggapi putusan praperadilan ini, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengisyaratkan bahwa KPK akan melanjutkan dugaan korupsi Budi. Bambang mengatakan, KPK akan mempelajari secara tekstual putusan praperadilan yang dimenangkan pihak Budi.
"Nanti kami akan diskusi dulu (kelanjutan perkara korupsi Budi Gunawan). Nanti pasti ada jalan keluarnya," ujar Bambang.
Salah satu yang dibahas dalam diskusi internal itu, lanjut Bambang, bahwa KPK tidak memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap segala kasus yang tengah diusutnya. Hal itu, kata dia, tak dapat diubah.
"Itu kan perintah undang-undang, Bos," lanjut dia.
Ketika ditanya apakah KPK akan melanjutkan pengusutan kasus Budi, Bambang menjawab, "Itu undang-undang, Bos," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.