Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merampas Daulat Rakyat

Kompas.com - 09/09/2014, 15:36 WIB


Oleh: Saldi Isra

KOMPAS.com - Pembajakan proses politik yang lebih demokratis terus berlangsung. Kecenderungan yang terlihat dalam beberapa waktu terakhir, pembajakan tersebut dilakukan melalui proses legislasi. Salah satu bentangan fakta yang tersaji di depan mata kita,  keinginan mayoritas kekuatan politik di DPR mengganti pola pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung jadi pemilihan tidak langsung.

Padahal, apabila dilacak riwayat proses panjang pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), keinginan memilih kepala daerah secara tidak langsung (via DPRD) sesungguhnya dari usulan pemerintah. Namun, begitu pemerintah berubah sikap untuk mempertahankan pemilihan langsung, justru mayoritas partai di DPR berbalik arah dengan menyatakan kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Perubahan sikap mendadak tersebut diambil oleh lima dari enam fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Kelima fraksi yang berubah sikap secara mendadak ini adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bertahan dengan usul gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara langsung.

Anehnya, semua fraksi yang berubah sikap itu mengambil alih hampir semua argumentasi yang dulu dikemukakan pemerintah. Misalnya, pemilihan langsung tak efisien, masifnya praktik politik uang, dan menimbulkan demokrasi berbiaya tinggi. Padahal, pemilihan langsung tidak bisa dikorbankan semata-mata hanya karena persoalan efisiensi biaya demokrasi yang dinilai sangat mahal (Kompas, 7/9). Bahkan, berbalik arah ke pemilihan oleh DPRD dapat dikatakan sebagai bentuk nyata merampas daulat rakyat.

Melihat perkembangan ini, pertanyaan mendasar yang tidak mungkin dihindarkan: bagaimana menjelaskan perubahan sikap mendadak mayoritas kekuatan politik di DPR ini? Pertanyaan lain yang lebih menggelitik: adakah perubahan sikap mendadak ini terkait dengan hasil Pemilu Legislatif 2014 dan konstelasi politik setelah Pemilu Presiden 2014?

Masalah konstitusional

Secara konstitusional, debat sentral di sekitar pilkada terkait frasa "dipilih secara demokratis" dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan: gubernur, bupati, dan wali kota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sekalipun frasa "dipilih secara demokratis" memiliki makna ganda, pembentuk UU (pemerintah dan DPR) telah mempersempitnya menjadi dipilih secara langsung. Melalui Pasal 56 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit ditegaskan: kepala daerah dipilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Sekiranya dibaca dan diikuti semangat yang melingkupi kehadiran Pasal 56 UU No 32/2004, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pilihan pembentuk UU memaknai frasa "dipilih secara demokratis" menjadi pemilihan secara langsung dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk konkret penerapan asas kedaulatan rakyat. Bagaimanapun, dengan menggunakan sistem perwakilan, rakyat akan kehilangan kedaulatannya untuk secara langsung menentukan kepala daerah. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan acap kali mendistorsi kehendak dan logika rakyat.

Dengan memilih pemaknaan tersebut, pembentuk UU menyadari hasil perubahan UUD 1945 tak lagi menempatkan daulat rakyat di tangan lembaga perwakilan. Artinya, mengubah makna frasa "dipilih secara demokratis" untuk kembali dipilih lembaga perwakilan akan jadi persoalan konstitusional yang sangat serius. Lalu, bagaimana mempertanggungjawabkan secara konstitusional pilihan politik mengganti makna "dipilih secara demokratis" dari dipilih secara langsung menjadi dipilih oleh DPRD? Pertanyaan ini kian menarik karena Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Karena itu, sekalipun frasa "dipilih secara demokratis" acap kali dimaknai sebagai open legal policy dari pembentuk UU, pemerintah dan DPR tak bisa semena-mena mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi pemilihan dengan sistem perwakilan. Selain telah terlebih dahulu dimaknai sebagai pemilihan langsung, perubahan ke arah pendulum yang berlawanan ini jelas akan merusak kepastian hukum dalam proses pemilihan kepala daerah. Padahal, pilihan politik yang mengabaikan kepastian hukum dapat menjadi alasan untuk mempersoalkan substansi sebuah undang-undang.

Selain itu, karena pemilihan kepala daerah terkait dengan hubungan pusat-daerah, seberapa jauh DPD dilibatkan dalam pembahasan RUU Pilkada ini? Sekiranya DPD tidak dilibatkan secara wajar, perubahan proses pemilihan kepala daerah ini akan memiliki cacat formal yang sangat nyata. Dikatakan demikian, Pasal 22D UUD 1945 mengharuskan adanya peran DPD dalam setiap proses kehadiran UU yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Cacat formal itu akan makin nyata jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-X/2012 yang menghendaki adanya pembahasan tripartit DPR-pemerintah-DPD dalam setiap rancangan UU yang terkait dengan Pasal 22D UUD 1945.

Tidak hanya persoalan di atas, terkait masalah ini, dalam tulisan ”Haruskah Kembali ke DPRD” (Kompas, 16/12/2010) dikemukakan, upaya mengembalikan penyempitan makna ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 ke pemilihan oleh DPRD tidak sesederhana itu. Argumentasi tambahan yang harus dicari: bagaimana mengubah putusan MK yang telah meneguhkan pilkada secara langsung? Selain meneguhkan pemilihan langsung, MK juga memberikan ruang bagi calon perseorangan. Karena itu, tidak hanya bertolak belakang dengan makna hakiki kedaulatan rakyat, mengembalikan pilkada ke DPRD jelas memupus eksistensi calon perseorangan.

Merujuk penjelasan tersebut, persoalan-persoalan konstitusional yang mengancam konstitusionalitas RUU Pilkada ini harus dihitung betul oleh DPR dan pemerintah. Artinya, mengabaikan persoalan tersebut berpotensi menggugurkan formalitas dan substansial UU ini nantinya. Dalam hal ini, DPR dan pemerintah harus belajar banyak dari kesalahan yang terjadi dalam proses pergantian UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebagaimana diketahui, hanya hitungan hari setelah disetujui, beberapa kelompok (termasuk DPD) telah bersiap menguji ke MK. Jika dilacak permohonan yang masuk ke MK, hampir semua substansi UU No 17/2014 dinilai cacat konstitusional.

Ganti bukan solusi

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

Nasional
Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Nasional
Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Nasional
Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Nasional
Kontroversi Usulan Bansos untuk 'Korban' Judi Online

Kontroversi Usulan Bansos untuk "Korban" Judi Online

Nasional
Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Nasional
MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Nasional
Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Nasional
MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

Nasional
[POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK 'Gentle'

[POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK "Gentle"

Nasional
Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Nasional
Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Nasional
BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

Nasional
Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com