Secara jujur harus diakui, sejak menggunakan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung memang muncul banyak persoalan. Di antara persoalan yang paling menonjol: meruyaknya praktik politik uang. Sebagai sebuah persoalan, sejak semula telah dikemukakan oleh banyak kalangan, persoalan politik uang dapat diminimalisasi sekiranya partai politik memiliki kontrol yang ketat terhadap pasangan calon yang mereka usung. Namun, pada faktanya, partai seperti enggan melakukan langkah penertiban. Bahkan, di titik-titik tertentu, sebagian partai politik seperti menikmati praktik curang ini.
Begitu pula praktik politik uang yang melibatkan pemilih, sejak semula telah diyakini penyimpangan ini kian menjadi- jadi karena penegakan hukum bagi pelaku hampir tidak pernah dilakukan. Padahal, ketentuan yang ada lebih dari cukup untuk menyeret pelaku, termasuk juga kemungkinan menganulir atau mendiskualifikasi pasangan calon. Artinya, sekiranya semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memiliki komitmen menegakkan aturan hukum, praktik membeli suara dengan mudah dapat diminimalisasi.
Begitu pula pendapat bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tidak efektif dan efisien. Salah satu bentuk nyata mereka yang menggugat proses pemilihan yang telah diterapkan selama ini: pilkada merupakan proses politik yang memboroskan keuangan negara. Dalam soal ini, sebetulnya sejak awal sudah ditawarkan solusi cerdas, yaitu melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah secara serentak. Paling tidak merujuk pilkada di Sumatera Barat tahun 2010 yang melaksanakan pemilihan di 13 kabupaten/kota (dari 19 kabupaten/kota yang ada) ditambah pemilihan gubernur, KPU Sumbar mampu menghemat biaya hampir 65 persen.
Melihat semua persoalan yang melingkupi pilkada selama ini, pilihan mengganti model bukanlah sebuah solusi. Dari rangkaian persoalan yang ada selama ini yang dinilai sebagai titik lemah pilkada secara langsung, sekiranya memang memiliki komitmen mempertahankannya, semua persoalan dapat ditanggulangi. Namun, faktanya, tak terlihat komitmen dan langkah nyata untuk meminimalisasi persoalan tersebut. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, boleh jadi persoalan tersebut ”dipelihara” untuk jadi alasan untuk menilai bahwa pilkada secara langsung dilingkupi banyak masalah.
Mengepung Jokowi-JK?
Sebetulnya, tidak terdapat alasan kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional mengubah pengisian kepala daerah dari pemilihan langsung menjadi pemilihan dengan sistem perwakilan via DPRD. Karena itu, dalam batas-batas tertentu, perubahan sikap mendadak mayoritas partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih dapat dibaca sebagai bentuk akrobat politik terhadap kemenangan Jokowi-JK. Bahkan, bukan tidak mungkin upaya ini sebagai langkah nyata lebih jauh untuk mengepung pemerintahan Jokowi-JK.
Sebelumnya, langkah serupa telah pula dilakukan ketika partai politik yang berada dalam Koalisi Merah Putih memaksakan persetujuan UU No 17/2014. Sebagaimana diketahui, salah satu substansi yang dipaksakan adalah mengubah tata cara pemilihan pimpinan DPR dari semula berasal dari urutan partai peraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif menjadi mekanisme pemilihan oleh anggota DPR. Melihat langkah politik tersebut, bukan tidak mungkin semua langkah akrobatik yang dilakukan ini bagian dari skenario mengepung Jokowi-JK mulai dari DPR sampai ke mayoritas daerah.
Dalam situasi seperti ini, yang paling mungkin diingatkan adalah pemerintah dan Presiden SBY. Sebagai institusi yang memiliki otoritas sama kuat dengan DPR dalam proses legislasi, sekiranya mayoritas partai politik tetap memaksakan mengganti model pilkada, pemerintah (baca: SBY) seharusnya menggunakan hak konstitusionalnya menolak menyetujui RUU Pilkada. Banyak pihak percaya, hanya dengan cara demikian, pemerintahan SBY dinilai masih mampu memelihara model pemilihan demokratis yang telah dibangun selama ini. Artinya, apabila pemerintah dan SBY takluk oleh keinginan tersebut, SBY dan mayoritas partai politik dapat dikatakan secara bersama-sama merampas daulat rakyat.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), FH Universitas Andalas