JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini Mashudi mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sebagai kemunduran demokrasi. Ia menilai banyak keanehan dalam perjalanan pembahasan RUU ini, terutama terkait pemilihan kepala daerah.
"Dalam perjalanannya RUU ini didesain aneh. Mereka (panja) melakukan konsultasi publik sangat lama dan panjang sekali. Tapi tiba-tiba diubah sendiri oleh pemerintah dan DPR," kata Titi dalam sebuah diskusi di gedung DPR Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Salah satu yang menjadi sorotan Perludem adalah usulan pemilihan Gubernur secara langsung namun untuk Bupati dan Walikota dipilih oleh DPRD. Perludem menilai argumen untuk usulan ini tidak dikuatkan dengan naskah akademik. Ditambah lagi, dalam perjalanannya, beberapa fraksi di DPR tiba-tiba berbalik arah mendukung opsi ini dengan argumen yang tidak jelas.
Alasan biaya tinggi baik untuk penyelenggara, penyelenggaraan dan proses pemilihan dinilai tidak kuat karena menurut dia, politik biaya tinggi bisa ditekan dengan pilkada serentak. Sementara politik uang yang menjadi alasan lain, Titi menilai masalah ini justru menjadi tanggungjawab politisi dan partai peserta pemilu. Rakyat, dalam politik uang cenderung hanya menjadi korban.
"Pertanyaannya siapa yang melakukan politik uang? Rakyat? Bukan," kata dia.
Sementara terkait konflik horizontal, Titi mengatakan tidak ada data signifikan yang menyebabkan mandat rakyat harus dikembalikan ke DPRD.
"Visi misinya tidak jelas untuk penataan demokrasi ke depan. Sampai hari ini tidak ada argumentasi yang meyakinkan kami bahwa dengan dikembalikan ke DPRD akan lebih baik," kata dia. Untuk itu, Perludem meminta pengesahan RUU Pilkada ini ditunda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.