Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penjabaran Lengkap Putusan MK Tolak Gugatan Prabowo-Hatta

Kompas.com - 22/08/2014, 11:02 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya Permohonan Perselisihan Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Penolakan tersebut tercatat dalam amar putusan setebal 4.390 halaman. Butuh tiga kali skorsing dan sekitar tujuh jam bagi sembilan Majelis Hakim MK untuk membacakan 300 halaman secara bergantian dalam sidang yang berlangsung di ruang sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2014). Sidang pun berlangsung dari siang hingga malam hari.

Secara garis besar, MK mengelompokkan penolakannya menjadi beberapa bagian. Ini penjabarannya:

1. Klaim Hitungan Kemenangan
Prabowo-Hatta meminta MK agar menetapkan mereka sebagai pemenang pilpres berdasarkan perhitungan suara yang mereka lakukan sendiri. Pasangan nomor urut 1 itu mengklaim telah mendapatkan 67.139.153 suara sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla hanya mendapatkan 66.435.124 suara.

Mereka menilai, hitung-hitungan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan pasangan Jokowi-JK tidak sah karena telah terjadi kecurangan yang terstruktur sistemais dan masif dalam pilpres. KPU menetapkan Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833.

Namun, menurut Mahkamah, pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan dimana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara pemohon dan bertambahnya perolehan suara pihak terkait. Bukti dan saksi dalam persidangan juga tak mampu menjelaskan hal itu.

"Justru sebaliknya keterangan saksi yang diajukan oleh termohon dan pihak terkait membuktikan bahwa tidak ada keberatan dari semua saksi pasangan calon dalam proses rekapitulasi mengenai perolehan suara," kata Hakim MK Muhammad Alim.

2. Penyusunan dan DPT
Prabowo-Hatta juga menuding KPU melakukan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pengabaian itu berujung manipulasi data DPT dan akhirnya berdampak sistemik hingga menimbulkan terjadinya kecurangan dalam proses pilpres yang menguntungkan Jokowi-JK. Tetapi, berdasarkan bukti dan saksi ketiga pihak, Mahkamah menilai tidak dijelaskan secara detil mengenai pengabaian DP4.

Mahkamah juga berpendapat, penyusunan DPT merupakan proses panjang yang dilakukan KPU dengan tahapan yang sesuai peraturan.

"Maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemlih sebagimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

3. Jumlah DPKTb Tinggi
Prabowo-Hatta juga mecurigai tingginya jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah strategi mobilisasi massa untuk memenangkan Jokowi-JK. Mereka menilai DPKTb tidak sah dan melanggar Undang-Undang. Namun, Mahkamah menilai, DPKTb sah dan justru dapat menyalurkan hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.

Mahkamah juga menilai saksi yang dihadirkan Prabowo-Hatta tidak bisa membuktikan tuduhannya mengenai mobilisasi massa. Selain itu, Prabowo-Hatta juga tidak bisa menjamin siapa yang dipilih oleh pemilih yang terdaftar dalam DPKTb karena pemilu bersifat rahasia.

"Pemohon sama sekali tidak dapat membuktikan beprapa kepastian perolehan suara yang diperoleh pemohon jika hal tersebut (DPKTb) tidak terjadi," kata Hakim Aswanto.

4. Nol Suara di Papua
Prabowo-Hatta merasa telah dicurangi karena sama sekali tidak mendapatkan satu suara pun di 2152 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, kecurangan ini sempat dikeluhkan langsung oleh Prabowo dengan menyebut Indonesia layaknya negara totaliter, fasis, dan komunis saat berorasi dalam sidang perdana MK.

Namun, Mahkamah menilai raihan nol suara di sejumlah TPS bukan berarti terjadi kecurangan. Pasalnya, dalam berbagai sengketa pemilu yang pernah ditangani MK, kerap terjadi salah satu pasangan calon mendapatkan suara nol. Hal itu pada umumnya terjadi di daerah tertentu yang memiliki ikatan sosial kuat yang praktik pemilihannya dilakukan secara kesepakatan, seperti di Nias Selatan, Madura, Kalimantan, Bali, Maluku dan Maluku Utara.

"Perolehan suara nol tidak hanya untuk pemohon saja, akan tetapi pihak terkait di suatu TPS juga memperoleh nol suara," kata Hakim Wahidudin Adams.

5. Rekomendasi Bawaslu
Prabowo-Hatta mempermasalahkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu yang tidak dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka menilai, KPU telah dengan sengaja mengabaikan rekomendasi tersebut guna memenangkan pasangan Jokowi-JK. Namun, MK juga tidak melihat hal ini sebagai suatu bentuk kecurangan, meskipun ada kesalahan prosedur dan administratif yang dilakukan.

Di DKI Jakarta misalnya, menurut Mahkamah Bawaslu tidak cermat dan tidak mengawasi pelaksanaan rekomendasi yang telah diberikannya sehingga KPU merasa telah menyelesaikannya dengan hanya melakukan kroscek.

"Sehingga oleh karena Bawaslu tidak mempersoalkan pelaksanaan rekomendasinya secara keseluruhan oleh termohon, menurut Mahkamah, Bawaslu harus dianggap telah menerima pelaksaan rekomedasi oleh termohon," ujar Hakim Maria Farida Indriarti.

6. Rincian di daerah
Terakhir, MK juga merinci kecurangan yang terjadi di berbagai daerah seperti yang didalilkan Prabowo-Hatta. Pasangan yang diusung koalisi merah putih itu sebenarnya mendalilkan seluruh provinsi dalam berkas gugatannya, namun MK memilih lima daerah yang saksinya telah dihadirkan dalam persidangan.

Di Papua misalnya, Prabowo-Hatta menilai sistem noken atau ikat tidak sah menurut hukum. Namun Mahkamah berpendapat penggunaan Noken sah karena sesuai dengan putusan MK sebelumnya dan juga kerap digunakan dalam berbagai pilkada di sana.

"Mahkamah berpendapat pemungutan suara dengan sistem noken atau ikat adalah sah menurut hukum karena dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945," ujar Hakim MK Wahidudin Adams.

Di Jawa Tengah, Prabowo-Hatta menuding adanya keterlibatan Gubernur setempat yang juga kader PDI-P, Ganjar Pranowo karena yang bersangkutan mengirimkan surat instruksi kepada seluruh lurah. Namun, dalam salinan surat tersebut, Ganjar hanya meminta lurah untuk bersikap netral dan tidak ada perintah untuk memihak Jokowi-JK.

"Dalam persidangan pemohon tidak bisa membuktikan baik dengan bukti saksi maupun bukti tilisan adanya tindak lanjut dan pengaruh surat Gubernur Jawa Tengah tersebut terhadap perolehan suara masing-masing calon," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

Di provinsi tersebut, Mahkamah juga menilai tudingan pemohon yang menyebut KPU menggunakan tinta yang mudah dihapus agar pemilih bisa mencoblos dua kali, tidak terbukti. Mahkamah menilai, pemohon tidak pernah bisa menunjukkan tinta jenis tersebut di persidangan sehingga menganggap tinta semacam itu tidak pernah ada.

Amar Putusan

Sebelum membuat putusan, Mahkamah terlebih dulu membuat konklusi dari setiap pokok-pokok permohonan yang sudah ditolak. Mahkamah menyimpulkan pokok permohonan yang diajukan Prabowo-Hatta tidak beralasan menurut hukum.

"Mengadili, menyatakan dalam pokok permohonan: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Hamdan Zoelva.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com