Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Uang di Pemilu 2014 Dinilai Lebih Vulgar

Kompas.com - 13/04/2014, 18:01 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Praktik politik uang oleh calon anggota legislatif maupun partai politik pada Pemilu 2014 ini dinilai lebih vulgar. Jika sebelumnya, politik uang dilakukan secara diam-diam, sekarang caleg justru secara terang-terangan meminta konstituen memilihnya di hari pemungutan suara dengan imbalan tertentu.

Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, ketika Pemilu 2009 berlangsung, caleg atau parpol melakukan politik uang dengan cara mendatangi lembaga-lembaga tertentu seperti tempat pengajian atau sekolahan.

“Kalau sekarang terang-terangan, langsung ada duit, amplop, kartu (asuransi) itu. Dan itu dibagikan betul. Itu tren politik uang semakin terbuka. Vulgarismenya semakin meningkat,” kata Hafidz di Bawaslu, Minggu (13/4/2014).

JPPR melakukan pemantauan di 25 provinsi di Indonesia untuk melihat praktik kecurangan saat pemilu berlangsung. Beberapa provinsi yang dipantau adalah Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua.

Hafidz mengatakan, ada 1.005 tempat pemungutan suara yang dipantau. Dari hasil pantuan diketahui sebanyak 33 persen TPS di 25 provinsi di Indonesia terjadi kecurangan politik uang. Modus yang digunakan pelaku yakni dengan membagikan uang dengan besaran Rp 10.000 sampai Rp 200.000, barang (sembako, alat ibadah, pulsa, baju), hingga polis asuransi.

“Kalau tidak salah dulu politik uang hanya sekitar 10 persen, sekarang naik sekitar 33 persen. Waktu itu yang paling parah (kecurangan dalam) DPT dan logistik yang hampir 50 persen,” ujarnya.

Dia menilai, masyarakat tidak dapat dijadikan alasan mengapa politik uang marak terjadi hingga saat ini. Menurutnya, ketidaksiapan caleg dalam menghadapi kontestasi politik menjadi faktor utama politik uang terus terjadi.

Menurut dia, para caleg memiliki kecenderungan takut kalah saat pemilu. Mereka juga tidak berani bersaing untuk menghadapi caleg lain.

“Aspek demand masyakat itu tinggi. Tetapi, kalau suplainya tidak ada, tentu demand itu kan tidak akan terjadi. Tapi sekarang ini suplai partai politik sangat tinggi. Mereka sangat takut kalah bertarung di internal atau eksternal, sehingga mereka memakai cara itu tadi,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com