Salah satu isinya: ”Pada suatu masa nanti bekas kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di dekat Gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya susah tukang cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan”.
Mendengar cerita itu, saya langsung tertawa. Tanpa berpikir pun, mudah ditebak, ilustrasi tersebut mirip dengan Jokowi. Agar Emak tidak tersinggung, penulis menahan tawa dan pura-pura batuk.
Meski penulis menekuni pendekatan budaya politik, sejauh ini bangunan teoretisnya berpijak pada sejarah kampung dan bukan gugon tuhon. Preferensi politik masyarakat ditentukan oleh lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, mempunyai preferensi politik berbeda dengan mereka yang tumbuh di perkebunan tebu.
Alam bawah sadar masyarakat yang tumbuh di lingkungan pertanian padi secara umum lebih percaya pada klenik. Mungkin karena terlalu banyak upacara tradisional di sini.
Sebaliknya, mereka yang tumbuh di perkebunan tebu lebih terikat pada ideologi. Ini bisa dilihat dari sejarah republik di mana pemberontakan komunis umumnya terjadi di daerah perkebunan, terutama perkebunan tebu. Konflik kelas antara petani dan pihak pabrik (tebu) menjadi medan sosialisasi ideologi kritis bagi mereka yang tumbuh di lingkungan tersebut.
Akan tetapi, setelah Deklarasi Marunda ini saya berpikir dari kacamata komunikasi politik kultural. Jika ibu saya saja meyakini gugon tuhon itu, berapa banyak orang Jawa yang juga mempercayainya?
Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, apabila hal itu dikapitalisasi secara tepat, ia bisa menjadi mesin optimisme. Orang akan bersedia bekerja keras, prihatin, hidup sederhana, membangun, dan bergotong-royong mengikuti panduan Jokowi.
Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri!
SUKARDI RINAKIT, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.