Meski demikian, Refly berpendapat pemerintah dan penyelenggara pemilu tetap harus berupaya secara gradual untuk mengarahkan praktik noken dan ikat tersebut pada sistem pemilu yang seharusnya. "Karena dalam praktiknya, banyak yang kemudian bias kepentingan politik praktis," ujar dia.
Refly berpendapat, praktik noken dan ikat seharusnya menjadi praktik "eksepsional" yang berlaku di daerah tertentu karena memang tradisi tersebut berlangsung sejak jauh-jauh hari. Jangan sampai, ujar dia, di suatu daerah yang sebelumnya tak jamak ada praktik adat tersebut tetapi mendadak "diada-adakan" belakangan.
Menurut Refly, pada kondisi saat ini posisi strategis untuk meminimalkan ancaman kerawanan akibat praktik noken dan ikat yang "disalahgunakan" untuk kepentingan praktis ada pada penyelenggara pemilu yang benar-benar netral. Tak dimungkiri, beragam kesepakatan yang terjadi di antara sekian banyak orang yang mengaku sebagai ketua adat, sangat rawan memunculkan konflik dalam pemilu.
"Nah, problemnya, di Papua ini semua kan punya hubungan kekerabatan. Kalaupun ada yang netral, belum tentu juga diterima oleh masyarakat setempat," ujar Refly. Menurut dia, masalah praktik adat yang kemudian rawan disalahgunakan dan diada-adakan untuk kepentingan kelompok tertentu semacam noken dan ikat ini merupakan pekerjaan rumah bersama bagi demokrasi Indonesia untuk dicarikan solusi terbaik.
Sebelumnya diberitakan, Badan Pengawas Pemilu pun sudah menyoroti praktik noken di Papua dan Papua Barat. Menurut Bawaslu, praktik tersebut tak demokratis dan rawan dimanipulasi. Indikator paling sederhana, tak ada identitas penitip suara pada ketua suku tertentu.