Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/12/2013, 08:48 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi nyaris lumpuh karena jumlah hakim yang memiliki legitimasi kuat tinggal tersisa enam hakim. Setelah Ketua MK Akil Mochtar ditangkap, pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati pun, kini, dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Selain itu, hakim konstitusi Harjono pada 24 Maret 2014 akan memasuki masa pensiun. Jadi, jika hal ini tidak segera diselesaikan dan tidak segera mendapatkan pengganti, total hakim konstitusi yang tersisa dan memiliki legitimasi kuat untuk bekerja tinggal lima orang.

Padahal, Undang-Undang MK mengatur bahwa sidang-sidang pleno MK harus diikuti sembilan hakim konstitusi. UU MK menoleransi MK bisa bersidang dengan hakim kurang dari sembilan orang, yaitu minimal tujuh hakim, tetapi itu pun harus dilakukan dalam kondisi luar biasa.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Patrialis Akbar (tengah) di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (16/3/2011). Rapat tersebut membahas rancangan undang-undang tentang intelijen negara. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Keputusan PTUN

Majelis hakim PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Presiden Nomor 87/P tanggal 22 Juli 2013 yang menetapkan pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi, kemarin, Senin (23/12).

Majelis hakim mewajibkan Presiden untuk mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Majelis hakim terdiri dari Hakim Ketua Teguh Satya Bhakti serta dua hakim anggota, yakni Tri Cahyadi dan Elizabeth Tobing.

Putusan PTUN Jakarta tersebut berarti mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil, yang antara lain diwakili YLBHI, ICW, dan Indonesian Legal Roundtable.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, pengangkatan Maria Farida dan Patrialis Akbar dilakukan melalui penunjukan langsung tanpa melalui tata cara pencalonan yang dilakukan secara transparan dan partisipatif sehingga keputusan presiden tersebut mengandung kekurangan yuridis.

”Keppres No 87/P Tahun 2013 batal karena proses seleksi hakim konstitusi yang dilakukan Presiden tak sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang mensyaratkan pemilihan dilakukan secara transparan dan partisipatif,” kata Teguh Satya Bhakti.

Menurut majelis hakim, berdasarkan UUD Pasal 24 Ayat 2, MK merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun lembaga lain. Dengan demikian, MK merupakan salah satu pusat kekuasaan dalam suprastruktur politik negara, sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

”Oleh karena itu, pengisian jabatan hakim konstitusi harus dipilih melalui tata cara pencalonan yang dilakukan secara transparan dan partisipatif dan bukan dengan cara diangkat melalui penunjukan langsung oleh lembaga yang sederajat dengan MK,” kata hakim Tri Cahyadi.

Majelis hakim juga menilai, kesalahan Keppres No 87/P Tahun 2013 semakin diperkuat oleh langkah Presiden sendiri, yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU 24 Tahun 2003 tentang MK.

Perppu tersebut menunjukkan ada persoalan dalam mekanisme dan tata cara internal yang dilakukan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dalam praktik pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi selama ini.

”Persoalan dimaksud adalah seolah-olah hakim konstitusi diangkat begitu saja oleh setiap lembaga tanpa dipilih suatu proses transparan dan partisipatif. Padahal, transparansi merupakan syarat untuk mewujudkan keputusan yang akuntabel dan partisipatif merupakan syarat untuk mewujudkan keputusan yang obyektif,” kata Teguh Satya Bhakti.

Majelis hakim pun menilai dengan perppu tersebut, Presiden ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK.

Namun, seorang hakim anggota, yaitu Elizabeth Tobing, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Elizabeth, keppres tersebut tetap berlaku karena tidak ditemukan cacat yuridis dalam penerbitannya, baik dari segi kewenangan maupun prosedur substansial. Hakim Elizabeth juga berpendapat bahwa sangat penting untuk menjamin kepastian hukum terhadap MK dalam melaksanakan penegakan dan pembangunan konstitusional Indonesia.

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bahrain sangat mengapresiasi putusan ini.

”Kami juga mengimbau secara moral kepada hakim konstitusi yang keppres pengangkatannya dibatalkan untuk segera mundur sebagai bentuk dari kenegarawanan mereka,” kata Bahrain.

Sementara itu, kuasa hukum Presiden, Alheri Tanjung, menyatakan akan berkoordinasi terlebih dahulu untuk menentukan akan melakukan banding atau tidak.

Patrialis Akbar, saat ditemui di MK, menyatakan, pihaknya akan mengajukan banding. Ia melihat hal tersebut perlu dilakukan demi kelangsungan MK, demi kepentingan bangsa dan negara.

”Kalau putusannya merugikan bangsa kita, nanti MK tidak bisa jalan yang mengakibatkan terganggunya kondisi pemilu, satu-satunya jalan ya banding. Saya sebagai tergugat intervensi punya hak untuk itu,” ujar Patrialis.

Terkait dengan usulan untuk mengundurkan diri, Patrialis mengaku pihaknya tidak akan menempuh jalan tersebut. ”Negarawan itu bergantung pada pemahaman dan penguasaan dia tentang konstitusi dan ketatanegaraan. Bukan lalu menerima (putusan), lalu kemudian dia negarawan. Itu provokasi. Emangnya saya anak SD,” ujar Patrialis.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memimpin sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Jatim di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (7/10/2013). MK akhirnya menolak gugatan pihak Khofifah dan tetap memenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf sesuai dengan keputusan KPUD Jatim.
MK tetap jalan

Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan, putusan PTUN Jakarta tersebut tidak berpengaruh untuk MK secara kelembagaan. MK tetap bisa bersidang seperti biasa mengingat putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.

”Ada proses banding. Dengan demikian, putusan itu belum bisa dilaksanakan. Tidak ada masalah. Kami masih bisa bersidang,” ujar Hamdan.

Dia juga hampir yakin bahwa pemerintah sebagai tergugat ataupun Patrialis sebagai tergugat intervensi bakal mengajukan banding. Pengadilan memberikan waktu 14 hari bagi para pihak untuk berpikir. Kalau sudah ada pernyataan banding, otomatis putusan tersebut belum berlaku.

Kendati demikian, Hamdan kembali mengingatkan pentingnya mempercepat penggantian Akil Mochtar dan hakim konstitusi Harjono. Apabila dalam waktu tersebut pengganti kedua hakim tersebut belum ditemukan, hakim MK tinggal tujuh orang.

”Kalau salah satu hakim sakit, MK tidak bisa bersidang,” ujar Hamdan.

KY perlu tiga bulan

Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengungkapkan, pihaknya sudah menyiapkan dua peraturan KY, yaitu peraturan tentang Panel Ahli dan uji kelayakan calon hakim konstitusi. Dua peraturan tersebut baru akan disosialisasikan kepada pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung, pada awal tahun depan.

Dalam peraturan tentang uji kelayakan calon hakim konstitusi, KY telah memberikan ketentuan secara detail mengenai mekanisme seleksi yang dilakukan, seperti tes tertulis, menganalisis kasus/perkara, wawancara terbuka, dan permintaan masukan masyarakat. Suparman memperkirakan proses tersebut—dalam kondisi normal—memakan waktu setidaknya enam bulan.

”Namun, proses ini bisa dipercepat. Ya mungkin bisa selesai dalam tiga bulan,” ujar Suparman. (FAJ/ANA/NTA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com