JAKARTA, KOMPAS.com
— Demokrasi di Indonesia pascareformasi bersifat prosedural. Demokrasi substansial masih belum terbentuk karena kelas menengah belum terbangun secara kuat. Untuk itu, masyarakat kelas menengah disertai dengan penegakan hukum harus diperkuat.

Demikian pandangan yang mengemuka dalam diskusi bertema ”Demokrasi Prosedural Versus Demokrasi Substansial” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Gerakan Keadilan, Jumat (18/10), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Ketua MPR Sidarto Danusubroto, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, dan tokoh pergerakan mahasiswa tahun 1970-an, Hariman Siregar.

Sidarto mengatakan, Indonesia masih sulit membangun demokrasi yang substansial karena kelas menengah belum terbangun. Sebagian besar rakyat Indonesia adalah masyarakat menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan rendah.

”Kalau kelas menengah sudah terbangun, aspek ketokohan akan sangat berperan dalam pemilihan pemimpin karena suara masyarakat tidak lagi bisa dibeli,” tutur Sidarto.

Dia melihat, demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini masih sarat dengan transaksional, khususnya transaksi uang. Demokrasi itu dinilainya menyimpang dari demokrasi yang diwariskan para pendiri bangsa, yakni demokrasi Pancasila, yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Kekuatan uang

Hariman Siregar menegaskan, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling ideal untuk memilih pemimpin. Namun, sistem demokrasi itu belum berjalan sebagaimana mestinya karena masih bersifat prosedural dan transaksional. ”Demokrasi kita disanderai kekuatan uang,” ujarnya.

Untuk membangun demokrasi yang substansial, menurut Hariman, harus ada masyarakat madani yang kuat, penegakan hukum yang kuat, pers yang kuat, dan partai politik yang benar. ”Jika keempat aspek tersebut tidak terpenuhi, tidak banyak yang bisa diharapkan dari Pemilihan Umum 2014,” katanya.

Menurut Jimly, demokrasi prosedural ditandai dengan tegaknya hukum, sementara demokrasi substansial ditandai dengan tegaknya etika. Mengacu pada penegakan hukum, Jimly menilai demokrasi prosedural di Indonesia pun belum selesai karena penegakan hukum masih lemah.

Dibajak elite

Akibat lemahnya penegakan hukum, kata Jimly, kebebasan berdemokrasi di Indonesia dibajak kelompok elite sehingga hanya mereka dan kelompoknya yang menikmatinya. Demokrasi tersebut akhirnya memunculkan oligarki dan dinasti dalam politik.

”Demokrasi yang dibangun belum memberikan pemerataan ekonomi dan kesempatan berpolitik yang sama sehingga tidak menghasilkan kemakmuran bersama,” kata Jimly.

Meski demikian, menurut Jimly, demokrasi di Indonesia sudah berjalan cukup baik. ”Dibandingkan dengan negara luar, misalnya Mesir, demokrasi kita sudah bagus,” ujarnya.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, demokrasi Indonesia yang sudah cukup maju harus terus disempurnakan. Sebab, demokrasi yang terbangun pada era reformasi masih berpotensi gagal dan ambruk.

”Kita harus pandai memilih dalam pemilu dan pilpres (pemilu presiden) mendatang agar terpilih pemimpin yang bisa mempertahankan demokrasi,” tutur Jimly. (K08)